Luaiyibni Fatimatus Zuhra
135110801111014
Antropologi
Budaya
Fakultas Ilmu
Budaya
Universitas
Brawijaya
STUDI FOLKLORE DALAM SASTRA DAN BUDAYA
ALAN DUNDES DALAM
BUKUNYA “MEANING OF FOLKLORE”
Dundes dalam
bukunya menekankan teks dalam konteks atau struktur naratif dalam folklore yang
mempunyai makna tersembunyi. Metode dalam folk setidaknya dapat mengidentifikasi
dan menginterpretasi sesuatu yang belum jelas didalam folklore. Tujuan Dundes
dalam tulisannya adalah untuk menjelaskan secra gamblang bahwa ada banyak
kemungkinan makna yang tersembunyi di balik sebuah folklore entah itu berupa
sebuah aturan atau pelanggaran yang tersirat di dalamnya.
Dundes
mengatakan dalam tulisannnya bahwa dalam mempelajari cerita rakyat dalam
literatur dan budaya hampir sama. Ada dua langkah dasar dalam studi cerita
rakyat dalam literatur dan budaya. Yang pertama adalah obyektif dan empiris dan
yang kedua adalah subyektif dan spekulatif. Dalam mengidentifikasi cerita
rakyat adalah mencari persamaan sedangkan interpretasi adalah mencari perbedaan
cerita rakyat yang satu dengan cerita rakyat yang lain.
Banyaknya studi
tentang folklore khususnya cerita rakyat membuat beberapa ahli tidak
mengupayakan adanya evaluasi lebih dalam bagaimana unsur-unsur dalam cerita
rakyat dapat berfungsi dalam karya sastra tertentu. Hal ini menyebabkan adanya
pemahaman teks saja pada folklore nammun tidak mendalami konteks didalamnya.
Contohnya dalam cerita rakyat ulysses dimana banyak makna yang masih dapat
dipetik didalamnya namun tidak terlalu diperhatikan dan luput dari identifikasi
para ahli folklore. Sedangkan dalam penafsiran folklore dalam budaya adalah
interpretasi bagaimana folklore dapat menjelaskan perbedaan masa lalu dengan
masa kini namun dapat juga disimpulkan bahwa interpretasi ahli folklore
tidak ada gunanya jika tidak dapat mengaitkan hubungan antara folklore itu
sendiri dengan sastra dan budaya di dalamnya.
STRUKTURALISME
DALAM BUDAYA PETIK LAUT PADA MASYARAKAT PESISIR
Petik laut pada
masyarakat pesisir madura atau masyarakat tapal kuda biasanya dilakukan pada
bulan oktober setiap tahunnya dan bisa berlangsung selama satu hari satu malam
bahkan kadang sampai tiga hari tiga malam. Acara ini dilakukan dengan upacara
larung sesaji ke laut dengan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas
rejeki yang melimpah pada satu tahun sebelumnya.
Kekompakan dan
kebersamaan para warga tercermin dalam
acara ini, para warga berkumpul dan merayakan suatu acara dengan meriah tanpa
adanya perslisihan dan pertikaian meskipun dalam acara ini terdapat beberapa
perlombaan namun perlombaan ini tidak sampai menimbulkan sebuah persaingan yang
tidak sehat dan kecurangan diantara para peserta lomba. Wisata kuliner hasil
laut dan kerajinan tangan dari hasil laut seperti kerang-kerangan juga banyak dijual
pada acara petik laut.
Sesaji yang
dilarung meliputi alat rumah tangga, peralatan dapur, beberapa potong pakaian
dan sarung, dan yang terakhir adalah kepala sapi yang merupakan sesaji paling
utama dan paling wajib. Semua sesaji ini diletakkan pada wadah berbentuk
menyerupai perahu yang dibuat dengan menggunakan batang pisang dan dihias
menggunakan kain warna warni atau bunga-bungaan yang dirangkai sedemikian rupa
sehingga terlihat lebih menarik.
Sesaji yang telah
siap dengan semua kelengkapan dan hiasannya kemudian “diselameti” dengan
doa-doa dari para tetuah desa atau jika di desa yang mayoritas muslim biasannya
diselameti dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan pembacaan doa-doa dari ustad
atau kiai. Setelah ritual pembacaan doa selesai acara larung sesaji siap
dilaksanakan. Sebelum dilarung biasanya sesaji diarak oleh perahu-perahu hias
yang mengikuti lomba perahu hias mengelilingi beberapa gugusan pantai yang
jaraknya hanya satu kilo dari tempat awal sesaji diarak. Sesaji diarak dengan
ditarik menggunakan perahu nelayan yang paling besar yang biasa disebut sebagai
“salerek” pada masyarakat madura. Setelah arak-arakan telah dianggap cukup
dengan mengitari gugusan pantai selama dua atau tiga kali putaran maka sesaji
siap untuk dilarung ke laut dengan meriah dan teriakan kebahagiaan para
masyarakat yang ikut dalam acara larung sesaji dengan menaiki perahu-perahu
hias para nelayan.
Dari folklore
pada masyarakat pesisir ini dapat terlihat jelas struktur didalamnya dari
adanya sesaji, hiasan pada sesaji dan perahu nelayan, doa-doa, acara larung
sesaji, dan antusias para warga atas acara tersebut dapat terlihat jelas struktur
yang tersusun di dalamnya seperti adanya sebuah alur yang berurutan dari acara
pertama hingga acara selanjutnya, kejelasan tempat acara, adanya waktu yang
ditentukan setiap tahun, serta adanya tujuan dan fungsi dalam acara petik laut
ini.
Daftar pustaka
[1]
Alan Dundes (Meaning of Folklore The Analytical)
[2]
Martha C Sims Martine Stephens (Living Folklore)
[3]
James Danandjaja (Folklore Indonesia “ilmu gosip, dongeng,
dan lain-lain”)

Komentar
Posting Komentar