International Women's Day
Bikin Bangga Jadi Perempuan
Karya:
Ledian Lanis, 10 September 2016
Sumber:
Kalatida.com
Ini bukan hari
Kartini. Bukan pula hari perempuan. Tapi tunggu dulu, apakah menulis tentang
perempuan harus nunggu momen-momen seperti itu? Atau harus nunggu kasus paling
ngeri membludak dibertitakan semua televisi dan Koran-koran dulu?
Sepertinya tak
harus begitu, apalagi sampai sekarang kasus kekerasan pada perempuan masih
bejibun. Belum lagi baru-baru ini kita (atau mungkin cuma saya) ditonjok
kejadian alay lebay karena cinta cintaan yang dilakoni Awkarin, itu lho
youtubers dan selebgram yang eksis habis. Awkarin yang diputusin cowoknya
mengupload video di youtube sambil menangis-nangis curhat ke netizen. What a dramaqueen!
Melihat dua
masalah ini, kasus kekerasan pada perempuan dan kealayan Awkarin. Saya merasa
tak etis saja rasanya jika tak menulis tentang perempuan. Apalagi saya
perempuan. Dan saya bangga jadi perempuan.
Soalnya bukan
masalah ala kadar. Apalagi melihat sekian banyak berita kekejaman pada
perempuan dalam wujud perkosaan dan pembunuhan yang entah mencontoh sadis ke
film psikopat keluaran mana. Sementara di sisi lain ada juga perempuan
perempuan yang tingkat kadar alay sekian tingginya sampai menyabar betapa
frustasinya putus cinta.
Di Indonesia,
jumlah kekerasan pada perempuan tahun 2015 saja tercatat ada 16.217 kasus.
Sekali lagi, saya perjelas : enam belas ribu lebih kasus, jika semua korban
dijejerkan entah sebanyak mana akan terlihat. Kalah dibandingkan konser-konser
music band-band itu, jangan-jangan ga akan muat juga kalau dibariskan di
kebanyakan lapangan sepak bola. Sebanyak 16.217 kasus itu data yang dicatat
Komnas Perempuan. Terus berapa data yang belum tercatat?. Toh, tak semua
terlaporkan dan didata.
Sungguh
angka-angka ini bukan sekedar angka. Tapi ada cerita di baliknya. Nonton
sinetron tentang kekerasan pada perempuan saja kita sering sedih, geram, marah.
Nah, bayangkan dalam setiap satu angka dari jumlah itu ada kisah-kisah serupa.
Sungguh-sungguh betapa, sungguh-sungguh jangan dibiarkan.
Melihat angka
itu dan status darurat kekerasan pada perempuan itu, juga kita sadar bahwa,
bicara soal perempuan bukan sekedar bicara soal emansipasi. Bukan sekedar
bicara tentang kesetaraan gender. Tapi hak yang lebih primitif, lebih dasar
dari itu, apalagi kalu bukan kenyamanan dan keamanan perempuan sebagai
individu. Nah disini kita jadi teringat lag, apa harus membuat diri sendiri tak
nyaman karena kealayan diri sendiri? Seolah kita ini mampu ditumbangkan dengan
satu tiupan angin ala cinta monyet.
Mari kita
melihat diri sendiri sebagai perempuan dengan kacamata perjuangan. Kacamata
peran apa yang bisa perempuan berikan untuk sesame perempuan demi mewujudkan
kenyamanan itu? Demimengerucutkan jumlah angka-angka tadi menjadi nihil
senihil-nihilnya. Semakin banyak kita menunjukan peran kita. Semakin kita
perlihatkan kita berpotensi dan ada. Bukan sekedar penonton atau pelaku pasif.
Semakin banyak suara untuk mewujudkan kenyamanan itu, semakin mudah bisa
tercapai.
Para perempuan,
sebenarnya bukan barang baru. Sejak lama ada perempuan yang mampu lepas dari
sekedar masalah domestic rumah tangga, dapur, sumur, kasur. Ingat-ingat yuk. Ga
perlu jauh-jauh, di Indonesia saja. Kita absen dari zaman perjuangan
kemerdekaan, ada Cut Nyak Dien, Nyai Ontosoroh, itu sekedar contoh dari sekian
banyak yang lain. Terus kita lanjut ke Rohanna kudus, jurnalis perempuan
pertama yang berjuang lewat tulisan, juga RA. Kartini juga lewat tulisan. Kamu
bisa apa? Apapun minat bakat kamu, bisa donk dijadikan peran serta.
Dan perjuangan
perempuan bukan sekedar barang kuno yang cuma ada di zaman kemerdekaan saja.
Perjuangan ini seperti takdir yang tak akan dan tak boleh putus. Mencontoh pada
yang baru-baru ini saja. Seperti perjuangan para 9 Kartini kendang yang berdemo
di Istana Negara, Jakarta. Ini dia emansipasi, ini dia perjuangan dan
kontribusi. Para perempuan hebat yang langsung beraksi melindungi lingkungan
dari eksplorasi industri semen. Ini dia kilau yang bikin para cowok-cowok
silau. Bukan dengan nagis alay alay
di internet.
Aksi-aksi dari
zaman perjuangan kemerdekaan, zaman kekinian dan zaman akan datang yang bakal
terus diharapkan ada. Aksi nyata lho ya! Bukan sekedar twit twit di twitter dan
posting di fesbuk atau instagram soal lestarikan lingkungan. Halo? Perjuangan,
kontribusi dan pelestarian lingkungan ga cukup dengan sekedar jadi seleb di
media sosial.
Setelah mereka,
apa masih kita para perempuan, mau sekedar sibuk dengan urusan cermin dan
arloji? Sibuk nampangin cermin dami selalu cantik? Sibuk mantengin arloji demi
nungguin jam hangout, jam ngedate, jam tayang drama Korea? Lalu
depresi cuma karena putus cinta cintaan monyet yang belum diikrarkan sah ala
pernikahan? BIG NO.
Kita manusia,
kita butuh ditemani, butuh disayangi. Kita manusia, bisa sedih dan patah hati.
Tapi jangan lupa untuk terus bergerak, berkarya, berkontribusi. Ini namanya
mengasah kilau. Mari bikin dunia silau. Jangan malah merusak kilau. Malu donk sama sederet pahlawan perempuan.
Sama 9 Kartini kendeng. Untuk sekumpulan para aktivis perempuan dimana pun berada.
Terima salam angkat topi Saya. Salut.
Komentar
Posting Komentar