Mahalnya Ucapan Terima Kasih


Memanusiakan manusia telah menjadi hal yang melekat bagi para antropolog, dimana antropologi merupakan salah satu ilmu yang mampu untuk menjadi pertimbangan ilmu lainnya dalam mewujudkan ilmu pengetahuan di masa depan yang memiliki potensi dan kualitas cukup tinggi sebagai bekal manusia dalam memaknai setiap simbol yang menyelimuti kehidupannya. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Webster (1981) dalam (Astuti, 2016) yang mengatakan bahwa dalam kelangsungan hidupnya, manusia tidak dapat terlepas untuk saling berinteraksi melalui simbol-simbol yang bertujuan pada pemaknaan. “Why is the continuation of the story, mengapa antropologi dikatakan mampu dan layak untuk dipertimbangkan ? Hal tersebut dapat ditelusuri melalui ruang yang tidak terbatas dalam antropologi, dimana hal tersebut sengaja dicipta sebagai penyokong cabang ilmu lainnya, bukankah lebih dari cukup jika terdapat sekeping pengetahuan yang mampu memaknai sebongkah ilmu?
Hal yang cukup disayangkan mulai terjadi ketika terciptanya kemampuan suatu ilmu pengetahuan tidak disandingi dengan kemampuan karakter dari penggeraknya, terutama peran mahasiswa yang kurang menunjukan karismanya dihadapan dunia, beberapa dari mereka lupa untuk memposisikan diri sebagai bagian dari manusia yang memiliki misi khusus untuk mengajak manusia lainnya memaknai manusia sebagai simbol yang istimewa. Fenomena tersebut semakin dipertegas oleh era industri yang telah menjadi mediator dalam memproduksi ribuan manusia tanpa karakter, artinya sebagian besar manusia yang tercipta di masa sekarang hanya ambisi pada hal yang besar dan mulai lupa pada hal yang kecil, salah satunya ditandai dengan fenomena mahalnya ucapan terimakasih yang mampu disandingkan dengan kenaikan angka dollar bagi Indonesia, ironis. Dalam hal ini dapat dimaknai bahwa “terima kasih” bukan sekedar kata tapi hak untuk menerima dan mengembalikannya dengan kasih, tidak akan ada penjelasan yang mampu membantahnya, sekalipun ada itu hanya penjelasan yang bertuan pada kekosongan makna, terlebih kata terima kasih bukan sekedar kata untuk diingat namun diciptakan agar dapat dirasakan dan ditularkan, mengapa harus mengingat jika dengan merasakan kita mampu mengenali keberadaannya? Tutur terima kasih bukan sebuah kejahatan yang harus diredam, tapi suatu budaya keramahan yang harus ditularkan.

Sumber :
Astuti, L. (2016). Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu). Jurnal Profesional FIS UNIVED, 3(1).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUNCHING PENGURUS HIMANTARA PERIODE 2019

Ethnography Metods : The Logic of Thingking

PROGRAM KB: EFEKTIFKAH?