Buletin Edisi 5

Bejana 
Buletin Jurnal Antropologi
BEJANA (Buletin Jurnal Antropologi) merupakan buletin mahasiswa yang diterbitkan oleh Himaprodi Antropologi Brawijaya (HIMANTARA). Buletin ini digagas oleh Divisi Litbang yang bekerjasama dengan Divisi Infokom yang masih di dalam naungan Himantara. Kata “Jurnal” dalam BEJANA merujuk pada arti sebagai catatan, sehingga kata tersebut dapat dipahami sebagai catatan mahasiswa Antropologi Brawijaya yang dituangkan dalam buletin ini. Selain itu kata “Buletin Jurnal” merujuk pada sifat buletin sebagai media karya tulis mahasiswa Antropologi Brawijaya, dengan gaya penulisannya yang semi ilmiah. Sehingga secara keseluruhan buletin BEJANA diharapkan dapat menjadi wadah bagi mahasiswa Antropologi Brawijaya untuk menyampaikan dan mengembangkan gagasannya melalui tulisan dan karya-karya lainnya.
SALAM BELAKANG LAYAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat-Nya Buletin Jurnal Antropologi (BEJANA) edisi kelima dari Himpunan Mahasiswa Program Studi Antropologi Brawijaya (HIMANTARA) dapat diselesaikan. BEJANA telah terbit sebanyak empat kali pada periode sebelumnya dan puji syukur mendapatkan banyak respon positif, serta kritik dari para pembaca. Kami, selaku tim redaksi terus berusaha untuk memberikan tulisan-tulisan yang berkualitas dan menarik minat baca, serta dapat menambah wawasan para pembaca. BEJANA edisi kelima kali ini mengangkat tema mengenai bu- daya minum kopi yang ada di kalangan mahasiswa saat ini, minum kopi sendiri tidak hanya menjadi sebuah kegiatan yang konsumtif ataupun gaya hidup semata, akan tetapi kaya akan nilai dan cerita serta tujuan di balik kegiatan para peminum kopi tersebut. Tim redaksi mengajak para pembaca sekalian untuk melihat fenomena sederhana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang terdapat di lingkungan sekitar kita melalui kacamata yang berbeda. Buletin jurnal hasil kerjasama dari Divisi Litbang dan Divisi Infokom HIMANTARA ini diharapkan nantinya dapat memberikan dan memaparkan kajian mengenai segala hal berkaitan dengan budaya minum kopi khususnya di kalangan mahasiswa melalui sudut pandang Antropologi. Bahan bacaan yang ada dalam BEJANA edisi kelima kami sajikan dengan harapan memberikan konsep unik dan menarik dengan menghadirkan konten selain artikel dan jurnal ilmiah. Buletin BEJANA juga memiliki konten-konten, seperti profil tokoh, potret negeri, sajak, dan konten lainnya dengan isi yang segar untuk dibaca. Saya selaku pe- mimpin redaksi BEJANA berharap apa yang telah kami sajikan dalam BEJANA edisi kali ini menarik dan bermanfaat dalam memperkaya pan- dangan pembaca sekalian dalam melihat budaya di sekitar kita. Terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam proses persiapan serta mensukseskan BEJANA edisi kelima ini. Selamat membaca. 
Redaksi, Haflah Leste Distincta
SAJIAN UTAMA BEJANA:
 Buletin Jurnal Antropologi KOPI DAN BUDAYA NGOPI DALAM MASYARAKAT MODERN Kopi pertama yang menjadi komoditas di Indonesia adalah jenis kopi Arabika. Dahulu, VOC menjadikan kopi sebagai komoditas utama. Sehingga menjadi awal masyarakat Indonesia mengenal kopi dan menjadi penghasil kopi terbesar nomor tiga di dunia hingga saat ini. Tidak hanya menanam untuk diekspor keluar, masyarakat Indonesia juga memproduksi biji kopi untuk dikonsumsi oleh masyarakatnya sendiri. Dari Sabang sampai Merauke terdapat beragam jenis kopi dengan cara penyajian yang unik dan berbeda satu sama lain. Kopi kemudian menjadi budaya yang tidak lepas dari masyarakat Indonesia hingga saat ini. Konsumsi muncul sebagai sebuah perhatian budaya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an dalam perdebatan mengenai perkembangan “masyarakat konsumen”. Ia kemudian sangat tampak di dalam kajian cultural studies pada tahun 1970-an di dalam karya mengenai bagaimana pelbagai sub-kultur menyediakan beragam komoditas untuk menghasilkan makna alternatif dan oposisional (Storey, 2008:143). Analisis budaya perihal konsumsi bermula dari perhatian politik marxisme. Masyarakat prakapitalis bukanlah masyarakat konsumen karena barang-barang sebagian besar dibuat untuk konsumsi segera atau ditukar dengan barang-barang lain. Hanya sesudah runtuhnya feodalisme dan munculnya kapitalismelah, sebuah sistem yang didasarkan pada pasar, pada uang dan keuntungan, konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan-kebutuhan sederhana dan muncul sebagai suatu aspek penting dari aktivitas manusia (Storey, 2008:144). Setelah mulai munculnya masyakat konsumen, maka tidak dapat disangkal muncullah ideologi konsumerisme. Yaitu sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan. Herbert Marcuse (1968) mengembangkan deretan argumen ini, untuk menunjukkan bahwa ideologi konsumerisme mendorong kebutuhan palsu dan bahwa kebutuhan ini bekerja sebagai satu bentuk kontrol sosial. Orangorang itu mengenali diri mereka di dalam mobil, perangkat hi-fi, rumah bertingkat, perlengkapan dapur atau hanya dengan bersantai di kafe sambil minum kopi. Mekanisme itu sendiri, yang mengikatkan individu pada masyarakatnya, telah berubah; dan kontrol sosial dilabuhkan pada kebutuhan-kebutuhan baru yang telah dihasilkan. Jadi menurut Marcuse, pengiklan mendorong kebutuhan palsu. Misalnya keinginan untuk menjadi jenis orang tertentu, mengenakan tipe pakaian tertentu, memakan macam makanan tertentu, meminum minuman khusus seperti kopi, dan seterusnya. Dalam hal ini, bisa dilihat dari fenomena yang saat ini sering dilakukan. Yaitu budaya ngopi. Kopi dilihat pada ruang gaya hidup, maka kita memasuki persoalan bagaimana perubahan pola perilaku dalam hal konsumsi pada kopi dan identitas budaya para peminum kopi yang muncul. Berkaitan dengan hal tersebut, masalah lain yang mengiringinya adalah persoalan disposisi kelas sosial dan selera. Kehadiran espresso serta gagasan single origin dan alat penyeduh kopi manual seperti Vietnam drip, french press, moka pot, syphon, pour over, dan sebagainya, dari segi pola perilaku konsumsi kita bisa melihat perbedaannya sebelum hal-hal tersebut hadir. Secara umum, sebelum espresso dan alat penyeduh kopi manual hadir, di Indonesia, kopi dinikmati dengan cara tubruk, dan saringan yang terbuat dari kain. Pada segi identitas budaya yang muncul dari aktivitas minum kopi belum kompleks. Pada kala itu, minum kopi secara umum sekedar pendamping aktivitas ngobrol atau bersantai dan bekerja dalam tekanan. Identitas budaya keindonesiaan pada kopi tubruk belum terbangun sedemikian rupa. Pada disposisi kelas sosial, minum kopi masih dilihat sebagai hal yang biasa pada umumnya. Soal selera, masih berkutat pada persoalan apa yang diminum, bukan bagaimana ia diminum. Sebelum munculnya espresso based drinks, serta menjamurnya kedai kopi, aktivitas minum kopi oleh sebagian besar orang masih dilihat sebagai aktivitas rumahan. Ketika warung makan atau warung kopi sederhana menjadi marak, ruang untuk menikmati kopi di luar rumah di berbagai daerah mulai muncul. Jika pada masa sekarang orang hendak minum kopi pergi ke kafe; ketika kafe belum ada, orang minum kopi di luar rumah dan kantor atau di pasar, warung makan, dan warkop burjo, dan dalam beberapa hal gerobak dorong yang menyajikan minuman botolan yang turut serta menjual kopi. Dari segi pendapatan, sebagian besar penikmati kopi di tempat tersebut datang dari kelas menengah ke bawah. Disposisi kelas sosial yang hadir belum mencerminkan sesuatu yang diyakini ada. Persoalan selera pun belum menjadi sesuatu yang perlu dibincangkan sedemikian rupa. Begitu kafe penyedia espresso based drinks serta produsen kopi bertaraf internasional masuk ke dalam masyarakat, terjadi pergeseran gaya hidup. Terlebih ketika Starbucks hadir di Indonesia pada tahun 2002. Dari segi demografis, tempat-tempat minum kopi berbasis espresso, masih didominasi dari kalangan menengah ke atas. Melalui espresso, adanya bentuk baru terhadap identitas budaya, disposisi kelas sosial, dan selera, baik itu terlihat dalam identitas keindonesiaan, kemodernan, citra yang mewah, kebaratan, keitaliaan, kemajuan, dan sebagainya. Ketika informasi seputar kopi mulai disebarkan dan bisa diakses banyak orang, seperti gagasan speciality coffee dan single origin, lama-lama terjadi perkembangan gaya hidup lain. Pada taraf ini, kopi secara perlahan mulai dipahami bukan sekadar apa, tapi bagaimana ia diproses, disajikan, dan diminum. Tersebarnya informasi mengenai kopi, terutama lewat internet, menciptakan pola perilaku konsumsi tersendiri. Perubahan gaya hidup minum kopi berubah lagi begitu french press dan vietnam drip mulai dipopulerkan. Ditambah ketika pour over dan syphon menyusul, bagi para penikmat kopi cara melihat kopi pun menjadi kompleks. Dengan kemudahan mengakses alat kopi nonespresso dan juga alat pembuat espresso manual seperti Presso, kedai kopi skala sedang dan kecil mulai bermunculan, mengingat dengan alat nonespresso itu biaya yang dibutuhkan menjadi lebih rendah. Perbincangan single origin di kalangan penikmat kopi ikut membentuk perkembangan gaya hidup. Orang mulai lebih spesifik ketika memesan atau membutuhkan kopi. Misalnya, memesan atau mencari kopi dari daerah tertentu, seperti Gayo, Toraja, dan Jawa. Melalui konsep single origin ini juga kedai kopi kecil dan sedang yang tanpa menggunakan mesin espresso menemukan disposisinya. Belakangan, kedai kopi mulai berani menyodorkan minuman kopi single origin yang disajikan tanpa mesin espresso. Di rumah-rumah para penikmat kopi single origin dan specialty coffee pun terjadi perubahan. Grinder atau mesin penggiling biji kopi mulai dimiliki sehingga membuat segelas kopi pun menjadi memiliki tambahan tata cara, misalnya menggiling biji kopi ketika mau menyeduhnya. Adanya forum yang membahas kopi di dunia maya ikut menandakan bahwa telah terjadi perubahan dalam menikmati kopi. Munculnya komunitas yang dibentuk karena kecintaan pada kopi, bukan karena sering nongkrong di warung kopi sebagai gambaran dari jaringan sosial khas yang terjadi di lingkaran penikmat kopi. Oleh karena itu, banyak variabel yang bisa diamati untuk mendapatkan gambaran mengenai perubahan cara mengonsumsi kopi di tengah masyarakat sekarang. Yang jelas, sekarang kita sedang menyaksikan perubahan tersebut. Catatan Kaki: http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id (diakses pada 27 April 2016) http://www.specialtycoffee.co.id/budaya-meminum-kopi-dalam-masyarakatkita/ (diakses tanggal 27 April 2016) http://kopikopen.com/blog/cara-menyeduh-kopi/ (diakses pada tanggal 30 April 2016) https://majalah.ottencoffee.co.id/ mengintip-sejarah-singkat-starbucks/ (diakses pada tanggal 30 April 2016) Storey, John, 2008. Cultural Studies dan kajian Budaya Pop. Indonesia: Jalasutra Benedict Richard O’Gorman Anderson atau lebih dikenal Benedict Anderson lahir di Kunming, China pada 26 Agustus 1936 dan meninggal di Batu, Indonesia pada Minggu, 13 Desember 2015. Beliau berasal dari sebuah keluarga Anglo-Irlandia yang dibesarkan di California dan pernah menempuh studi di Universitas Cambridge. Benedict mulai dikenal oleh dunia dan para ilmuwan sosial khususnya, melalui bukunya yang berjudul Imagined Communities. Tulisan ini dikategorikan sebagai salah satu karya klasik dalam ilmu sosial dan ilmu politik yang telah membuka banyak pemikiran baru melalui konsep-konsepnya mengenai nasionalisme suatu bangsa/nation. Benedict berpendapat bahwa nasionalisme dan bangsa/nation memiliki nilai karena adanya individu-individu yang ‘menganggap’ dirinya sebagai bagian dari suatu komunitas. Meskipun pada kenyataannya mustahil bagi setiap individu benar-benar pernah melakukan interaksi dengan individu lainnya. Melalui buku ini pula kita dapat melihat bagaimana Benedict menikmati dan mengagumi pengalaman historis masing-masing bangsa berbeda untuk menjadi sebuah nation, termasuk Indonesia. Seumur hidupnya, Benedict Anderson telah menulis lebih dari 400 publikasi yang telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Sebagian besar dari bukunya banyak membahas mengenai perkembangan politik di Indonesia. Salah satunya, buku bertajuk Revolusi Pemuda yang menyoroti tentang Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946. Berikut beberapa karyanya: Benedict juga dikenal karena kritikkritiknya yang tajam dan pedas terhadap rezim Orde Baru di Indonesia yang pada saat itu berada di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Karya yang ditulis . bersama rekannya Ruth McVey dan terbit pada tahun 1965 tersebut dikenal sebagai “Cornell Paper” yang berisi tentang analisis peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Benedict menyimpulkan bahwa peristiwa G30S merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD) semata, sedangkan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak terlibat langsung di dalamnya. Analisis dan pandangan-pandangan kritis terhadap rezim Orde Baru inilah yang menyebabkan ia dicekal dan dilarang masuk ke Indonesia. Setelah Soeharto jatuh dari kekuasaannya (1999), Benedict kembali lagi berkunjung ke Indonesia. Hingga menjelang akhir hayatnya, Benedict menerbitkan buku terbarunya di Indonesia berjudul “Dibawah Tiga Bendera; Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial” pada Agustus 2015 silam. 
Budaya Ngopi di Kalangan Mahasiswa: Hobi atau Lambang Pergaulan?
 Oleh: Raissa Nadia Aulia
 “Ngopi yuk?” 
Kalimat ini pasti sudah tidak asing terdengar di telinga kita, bukan? Ya, ajakan ketika teman atau mungkin kita sendiri sedang merasa tidak memiliki kesibukan apa-apa atau dalam bahasa kekiniannya “lagi gabut”. Belum dapat diketahui secara pasti kapan ‘budaya ngopi’ ini mulai masuk ke Indonesia. Apakah budaya ngopi ini muncul sejak tayangnya film Filosofi Kopi yang diadopsi dari novel karya Dee Lestari muncul di layar lebar? Ah, saya rasa jauh dari sebelum film itu diproduksi pun, budaya ini sudah lebih dahulu muncul dan menjadi trend di kalangan mahasiswa. Mungkin bagi sebagian pencinta kopi, mengkonsumsi secangkir kopi dapat dilakukan dimana saja asalkan ada waktu senggang. Namun bagi sebagian mahasiswa, kegiatan ngopi hampir sudah pasti dilakukan di warung kopi atau kafe yang sekaligus menjadi tempat yang pas untuk berdiskusi. Tidak hanya itu, kegiatan ngopi ini juga biasa dilakukan oleh mahasiswa yang sedang dikejar deadline tugas. Seperti yang kita tahu, di dalam kopi terdapat kandungan kafein yang bisa menghilangkan rasa kantuk. Terdapat banyak pilihan tempat atau warung kopi yang bisa dikunjungi. Di kota Malang, kota dimana tempat saya menuntut ilmu, hampir di setiap sudut jalan dapat kita temukan tempat untuk ngopi, mulai dari pedagang kaki lima hingga kafe-kafe berinterior menarik yang menyediakan fasilitas free hotspot di dalamnya. Tetapi yang menjadi pertanyaan kita, apakah budaya ngopi bagi mahasiswa merupakan sebuah hobi atau hanya sebagai lambang pergaulan semata? Suatu malam, saya sedang ngopi di salah satu kafe di sekitar kampus bersama salah seorang teman. Kafe tersebut bernuansa minimalis dengan fasilitas hotspot yang super kencang dan stop kontak hampir di setiap sudut ruangannya. Sekilas saya mengamati aktivitas beberapa mahasiswa yang juga sedang mengikuti ritual ngopi pada malam itu. Di meja persis depan saya, ada empat orang mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya masing-masing dan sesekali menyeruput kopi panas yang terletak di samping laptopnya. Tidak ada interaksi yang terjadi diantara mereka berempat. Semua tenggelam di dalam dunianya masing-masing, entah apa yang sedang mereka kerjakan. Tepat di sudut kafe, ada dua orang mahasiswi yang sibuk bercengkerama sambil menikmati kopi dingin dengan sentuhan krim di atasnya. Keduanya tampak asyik berbagi cerita diselangi dengan tawa yang cukup membuat suasana kafe itu semakin ramai. Beberapa pengunjung kafe malam itu, sebagian besar merupakan mahasiswa yang sedang sibuk mengerjakan tugas atau hanya sekedar berdiskusi dengan temantemannya. Setelah mengamati suasana kafe pada malam itu, akhirnya saya memutuskan untuk bertanya pada teman saya. “Kamu biasanya kalo ngopi itu emang karena hobi minum kopi atau cuma pengen kumpul sama temen-temenmu?” “Sebenernya ngopi itu cuma bahasa ajakan sih. Menurutku ngopi itu nggak harus minum kopi. Tapi ngopi itu bisa berarti kesediaan kita untuk bertemu dengan teman yang kita ajak ngopi dan berdiskusi atau sekedar ngobrol-ngobrol dengannya.” Nah, dari jawaban teman saya itu, saya jadi sadar bahwa “ngopi itu nggak harus minum kopi”, tetapi ngopi itu bisa bermakna sebagai bahasa pengganti untuk sebuah ruang dimana dua orang atau lebih berdiskusi. Pada akhirnya makna ngopi bagi setiap individu mungkin berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai sebuah ritual minum kopi, ada yang memaknainya sebagai ajang untuk berinteraksi dengan lawan ngopi-nya, dan berbagai makna lainnya. Menurut saya, apapun makna ngopi bagi setiap orang yang terpenting hanya satu, ngopi yang harus dihindari mahasiswa yaitu ngopi-paste alias plagiarisme.
Budaya Ngopi Tumbangkan Mimpi atau Pemicu Prestasi? 
(Studi Kasus: Di Dalan Anyar Ponorogo) 
Ngopi. Istilah tersebut tentu sangat akrab ditelinga masyarakat. Berbagai kalangan sangat suka untuk melakukan aktivitas minum kopi. Terutama bagi generasi muda yang menjadikan minum kopi sebagai sebuah kegiatan populer saat ini. Lalu, filosofi apa yang sebenarnya terdapat pada kata ‘kopi’ hingga membuat sebagian besar anak muda jatuh cinta padanya dan seakan-akan mati tanpa minum kopi?. Muncul banyak istilah dari kata ngopi tersebut. Salah satunya, istilah kalangan anak muda yang membuat kepanjangan ngopi menjadi NGObrol PIntar. Contoh lainnya kata kopi diartikan oleh kalangan anak muda menjadi “Ketika Otak Perlu Inspirasi”. Salah satu penyebab kopi sangat disukai oleh masyarakat adalah karena akses yang mudah untuk mendapatkannya. Secangkir kopi dapat dengan mudah dinikmati dengan uang sebesar dua ribu rupiah saja. Kemudahan tersebut yang menyebabkan kopi dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas. Selain itu, kopi yang dapat membuat kelopak mata seakan menyala-nyala dan tahan lama tatkala meminumnya. Membuat kopi dipercayai sebagai obat pencegah mata redup akibat rasa ngantuk. Sehingga, setiap harinya setiap kalangan masyarakat selalu mengkonsumsi kopi untuk alasan-alasan tertentu mereka. Kopi menjelma menjadi sebuah prioritas utama bagi mereka. Tidak terkecuali pada sebagian besar anak muda di Ponorogo yang juga senang mengkonsumsi kopi. Dibuktikan dengan anak muda di daerah tersebut yang rela menghabiskan waktu selama berjam-jam di Dalan Anyar hanya untuk secangkir kopi saja. Penjual kopi yang cantik dan energik menjadi salah satu pemicu para pemuda betah nongkrong dan enggan untuk beranjak pulang. Hingga pada akhirnya kegiatan minum kopi menyebabkan lupa akan tugastugas yang harus dikerjakan, kewajiban untuk belajar hingga kewajiban membantu orang tua ikut terlupa karenanya. Persepsi negatif akhirnya muncul pada sebagian besar masyarakat dan mereka beranggapan para peminum kopi selalu identik dengan orang-orang yang tak mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Tidak memikirkan masa depan, hanya kesenangan sesaat saja yang dipikirkan. Akan tetapi, bagi para pelanggan setia penikmat kopi, Dalan Anyar dan kopi tetap memiliki arti tersendiri. Dalam menyikapi fenomena tersebut ada baiknya kita harus melihat budaya ngopi dari berbagai sudut pandang. Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan hidupnya dan tidak ada yang salah dari perbedaan budaya tersebut. Begitu juga dengan pecinta kopi yang berada di Dalan Anyar Ponorogo, tidak semerta-merta mereka hanya berfoya-foya dan bersantai-santai belaka. Namun lebih dari itu, Dalan Anyar merupakan tempat yang paling nyaman, tempat yang sejuk dan rindang, serta tempat yang menyediakan gazebo-gazebo yang tidak jarang menjadi ruang diskusi. Di sekitaran Dalan Anyar juga terdapat banyak kampus-kampus, Gedung Olahraga Singodimejo, Gedung Kebudayaan, dll. Hal ini tentu membuat banyak pemuda datang ke tempat tersebut baik sekedar melepas dahaga atau tujuan lainnya. Sehingga Dalan Anyar menjadi sebuah ruang yang nyaman bagi mereka penikmat kopi yang selalu memiliki alasannya sendirisendiri ketika menikmati kopi.
Cafe dan Ritual Ngafe di Kalangan Anak Muda
 Dyah Rahayuningtys, M.A
 dayu_sophia@yahoo.com
Cafe telah menjadi bagian dari gaya hidup anak muda sekarang, terutama di perkotaan. Cafe di perkotaan ibarat ‘jamur’, semakin lama semakin berkembang dengan berbagai macam variasi. Hampir di setiap kota besar keberadaan cafe menjadi pemandangan yang biasa bahkan mungkin diwajibkan ada. Tidak pelak lagi bahwa saat ini cafe telah menjadi ikon baru dalam gaya hidup modern, khususnya bagi anak muda perkotaan. Cafe, kedai kopi, warung kopi atau apapun itu namanya menjadi alternatif dan tempat hiburan bagi anak muda untuk dapat menikmati hidup dengan gaya mereka sendiri. Kopi menjadi salah satu ‘budaya’ yang cukup digemari oleh masyarakat dengan berbagai tingkatan usia dan tidak lepas dari peran globalisasi. Globalisasi sebagai sebuah sistem mampu bergerak mudah dari satu tempat ke tempat lain atau dari lembaga ke lembaga lainnya, dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya (Ritzer, 2014: 304). Dalam hal ini kopi merupakan salah satu komoditas yang berhubungan erat 13 Cafe dan Ritual Ngafe di Kalangan Anak Muda Dyah Rahayuningtys, M.A dayu_sophia@yahoo.com dengan sistem ekonomi, sosial dan budaya secara global (Tucker, 2011: XII). Jika sebelumnya kopi identik dengan warna hitam dan rasa yang pahit sehingga hanya dinikmati oleh kalangan orang tua, sekarang kopi menjadi minuman dengan berbagai macam variasi rasa yang mampu menarik perhatian anak muda. Pada awalnya kopi dinikmati di kedai-kedai atau warung-warung kecil pinggiran jalan atau di pedesaan dengan tujuan untuk melepas lelah para pengedara jarak jauh atau sebagai media berkumpul orangorang ketika melepas kepenatan kerja. Namun, arus globalisasi telah membawa dampak lahirnya budaya konsumerisme dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk memilih apa yang mereka inginkan, termasuk tempat mereka menikmati kopi. Budaya konsumen menciptakan tempat-tempat ngopi menjadi salah satu ikon konsumerisme di kalangan masyarakat yang berbeda dengan sebelumnya. Saat ini cafe tidak hanya sekadar tempat untuk minum kopi dan nongkrong, tetapi juga menjadi budaya baru yakni budaya ngopi sekaligus gaya hidup bagi anak muda. Bagi anak muda ataupun mahasiswa, pergi ke cafe ataupun kedai-kedai kopi menjadi pemandangan yang umum dilihat. Bahkan mereka menciptakan komunitas-komunitas cafe sehingga mengunjungi cafe menjadi sesuatu yang tidak dapat lepas dari kehidupan mereka sebagai anak muda atau mahasiswa (Dimyati, 2009: 1). Mengunjungi cafe bagi anak muda seperti halnya ritual yang perlu mereka jalani untuk bisa menjadi bagian dari generasi modern. Mereka dapat menyatukan tindakan, kepercayaan, dan pengetahuan lain yang membedakan antara mereka dengan golongan anak muda yang bukan menikmat kopi atau cafe (Tucker, 2011: 7). Melihat cara dan kuantitas anak muda atau mahasiswa dalam mengunjungi cafe-café, seperti halnya mereka sedang melakukan ritual. Pada artikel ini akan membahas dua hal berkaitan dengan budaya konsumen, yakni aktivitas anak muda yakni berkunjung ke cafe-cafe dalam sudut pandang ritual dan dampak ritual tersebut di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa. Ritual dan Gaya Hidup Modern Keberadaan warung kopi atau kedai-kedai kopi di masyarakat khususnya Indonesia bukanlah hal yang baru. Beberapa suku bangsa di Indonesia telah lama mengenal budaya minum kopi bersama. Namun, istilah cafe atau cafe shops memang menjadi fenomena yang baru dan bahkan mengalahkan istilah warkop (warung kopi) yang terkesan jadul dan ketinggalan jaman. Cafe shops merupakan istilah yang merujuk pada sebuah tempat untuk menikmati kopi dan telah menjadi fenomena yang mengglobal. Beberapa dekade terakhir ini, cafe telah mengalami ekspansi yang cukup dramatis. Di mall, airport, maupun di belahan dunia lainnya kita dapat menemukan coffee bars, coffee shops, dan kios. Tidak dipungkiri bahwa kemudian cafe menjadi instrumen dalam penyebaran budaya konsumsi kopi dalam era globalisasi (Tucker, 2011: 3). Sebenarnya apa yang yang dimaksud dengan budaya minum kopi atau coffee culture itu? Kopi adalah sebuah zat, tetapi budaya menanamkan kopi dengan makna sosial dan simbolik. Melalui budaya, dengan mengonsumsi kopi seseorang dapat menegaskan identitasnya, mengeskspresikan nilai yang dimiliki atau menegaskan ikatan sosialnya. Artinya, kopi sebagai budaya merujuk pada gagasan, perilaku, teknologi, pemaknaan, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kopi (Tucker, 2011: 7). Berdasarkan pemahaman tersebut, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan kopi dapat kita lihat, dengar, dan rasakan ketika berada di dalam sebuah cafe. Melihat perjalanan kopi kita dapat memahami bagaimana kopi memiliki interaksi dengan lingkungan di sekitarnya, kopi dikembangkan oleh manusia dari mulai penanaman sampai dengan pengolahan, dan sebaliknya manusia pun banyak dipengaruhi kopi dalam interkasi sosialnya (Saputra, 2008: 68). Oleh karena itu, untuk coffee bars, coffee shops memiliki peran sebagai media dalam mengembangkan budaya minum kopi di kalangan anak muda. Saat ini budaya minum kopi tidak lepas dari kalangan anak muda yang dekat dengan kebiasaan nongkrong dan ngobrol sampai larut malam. Oleh karenanya bertandang ke cafe-cafe sudah menjadi sebuah ritual yang biasa mereka lakukan untuk membentuk dan menguatkan identitas mereka sebagai bagian generasi modern. Ritual dalam hal ini bukan merujuk pada sesuatu yang bersifat saklar keagamaan, tetapi ritual dalam kaitannya dengan persoalan ini dapat dimaknai sebagai tindakantindakan yang selalu dilakukan pada suatu waktu yang tetap (at a fixed time) dan dalam cara yang sama (in the same way) (Crowther [ed.], 1995 via Lukmantoro, 2004: 24). Melalui pemahaman ini kita dapat melihat bahwa ritual bukan hanya sesuatu yang berhubungan dan selalu dibatasi dengan aktivitas yang bersifat keagamaan. Namun, aktivitas sosial lain yang bersifat rutin dan memiliki mekanisme permanen (Lukmantoro, 2004: 23). Kondisi ini juga dapat menggambarkan aktivitas atau tindakan anak muda yang menjadikan cafe seperti halnya tempat ibadah dimana mengunjungi tempat tersebut menjadi sesuatu yang dilakukan secara rutin atau bahkan suatu keharusan dan dengan aturanaturan yang tercermin dalam bentuk perilaku dan tindakan. Ritual dan Tindakan Simbolis Di setiap kehidupan beragama kita selalu menyaksikan simbol-simbol keagamaan, yang digunakan pada saat ritual keagamaan. Simbol memiliki peran penting dalam ritual keagamaan. Simbol berfungsi sebagai alat komunikasi kepada Tuhan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pada saat upacara dilaksanakan. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, kopi dan budaya minum kopi mampu membangun interaksi antara manusia. Interaksi tersebut dibangun melalui simbolsimbol tertentu yang berhubungan dengan kopi, budaya ngopi, dan ruang publik dalam hal ini cafe shops. Menurut Turner (1967) Simbol dapat berupa benda, tindakan, istilah-istilah, hubungan, peristiwa, atau unit spasial (Turner, 1967: 19 via Deflem, 1991: 3). Simbol juga dapat kita temukan pada relasi antara cafe, kopi dan gaya hidup anak muda. Misalnya tindakan dimana anak muda secara rutin atau dalam jangka waktu tertentu datang ke cafe, mereka berdandan, mengenakan pakaian bagus dan bersih. Bersama-sama dengan teman lainnya untuk diskusi, sekadar mengobrol, ataupun duduk sendiri untuk mengerjakan pekerjaan. Mereka yang berkumpul memiliki gagasan yang sama tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kopi ataupun cafe. Mereka yang terbiasa datang ke cafe mengetahui istilahistilah berkaitan dengan minuman dan makanan yang ditawarkan, seperti venti caramel macchiato, cappucino, americano, chocolate mocha dan lain sebagainya tanpa harus melihat papan menu. Perilaku dan tindakan inilah yang mereka gunakan sebagai media dalam berkomunikasi dengan sesama komunitas cafe. Pengetahuan akan istilah-istilah atau segala sesuatu yang berhubungan dengan cafe sebagai komunitasnya menjadi pembeda antara mereka yang tidak terbiasa mengunjungi cafe. Perbedaan antara ritual dan keagaman dan ritual ngafe anak muda adalah ritual religi yang mengarah pada tujuan-tujuan transendental. Sementara ritual mendatangi cafe atau ngafe memiliki nilai untuk mencapai penghargaan secara sosial dan pembentukan identitas. Mengaitkan ritual sebagai aktivitas yang berhubungan dengan religiusitas dengan aktivitas anak muda yang selalu mengunjungi cafe, tentu muncul pertanyaan di benak kita mengenai apakah ada dampak positif dengan apa yang dilakukan oleh anak-anak muda ini dengan mereka rutin medatangi café? Mengingat bahasan tentang ritual selalu berhubungan dengan religiusitas yang bersifat positif? Penjelasan yang mudah dalam hal ini adalah bagaimana ritual-ritual mendatangi cafe menjadi dampak dari budaya konsumen yang terjadi di kalangan anak muda saat ini? Dampak Ritual Ngafe Pembahasan yang biasa kita dengar tentang budaya minum kopi di cafe-cafe dikalangan anak muda membawa dampak negatif. Konstruksi masyarakat membuat kita cenderung membenarkan beberapa hal tersebut. Namun, di satu sisi kita tidak bisa menutup mata bahwa dalam budaya konsumen seperti menikmati kopi ala anak muda zaman sekarang juga terdapat sisi-sisi positif. Pada bagian inilah, saya akan membahas beberapa hal berkaitan dengan dampak ritual ngafe di kalangan anak muda dan mahasiswa, baik dari segi negatif maupun positif. Dampak Negatif Negatif dalam konstruksi masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya tidak baik, tidak bagus, dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Melalui konstruksi sosial kita terbiasa dengan dua istilah yang saling berseberangan ini atau dalam istilah akademisnya disebut oposisi binner, dimana ada hal negatif dan hal positif. Ritual ngafe bagi anak muda menjadi salah satu bagian dari fenomena sosial yang dikonstruksi dalam dua sisi yakni positif dan negatif. Pada bagian ini akan dibahas beberapa hal berkaitan dengan dampak negatif dari ritual ngafe anak muda. Pertama, adanya ritual ngafe membawa dampak budaya konsumerisme dan hedonis yang semakin meningkat dikalangan anak muda. Hedonis adalah gaya hidup yang berorientasi dengan kesenangan dan kepuasan dunia semata. Artinya, tujuan datang ke cafe-cafe tidak lagi hanya sekadar menikmati kopi, tetapi mereka menikmati suasana dan kepuasan dalam hal prestise ketika berada di suatu cafe tertentu meskipun dengan harga kopi yang jauh lebih mahal. Kedua, lahirnya sikap boros dalam ritual ngafe dikalangan anak muda, karena mereka membeli sesuatu yang tidak benar-benar mereka butuhkan. Ketiga, ritual ini membuat hidup anak muda menjadi tidak produktif karena banyak membuang waktu dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Pada tataran ini kita harus membedakan antara mengisi waktu luang dari istilah leissure time dengan menghabiskan waktu. Leissure time adalah waktu yang digunakan untuk penyeimbang antara rutinitas kerja dengan kepenatan dan kebosanan dalam dunia kerja dengan tujuan memperbaiki ritme dalam bekerja. Berbeda dengan membuang waktu atau menghabiskan waktu dikalangan anak muda yang terkadang tidak membawa manfaat. Dampak Positif Jika sebelumnya kita telah membahas mengenai dampak negatif dari ritual ngafe dikalangan anak muda, maka pada bagian ini akan kita bahas dampak positif dari ritual tersebut. Terkadang kita mengalami kesulitan memandang sebuah peristiwa sosial secara positif ketika peristiwa tersebut dibangun dalam wacana negatif di masyarakat. Hal tersebut membawa kita pada pandangan yang sama dengan apa yang telah dibangun oleh kebanyakan masyarakat. Seperti halnya ritual ngafe dikalangan anak muda, dimana ternyata tidak semua hal yang mereka lakukan bersifat negatif. Beberapa hal ternyata memiliki dampak positif bagi para penikmatnya terutama anakanak muda. Berikut hal-hal positif yang dapat kita lihat dalam ritual tersebut. Dampak positif ini akan merujuk pada tiga hierarki kebutuhan manusia menurut Alderfer yakni (1) Eksistensi yakni kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor seperti makanan, imbalan, dan kondisi kerja (2) Hubungan atau relatedness yaitu kebutuhan yang dipuaskan oleh hubungan sosial dan interpersonal yang berarti (3) Pertumbuhan atau growth yaitu kebutuhan yang dipuaskan jika individu membuat kontribusi yang produktif atau kreatif (Ivancevich, 2006: 150). Melalui teori ini kita akan menganalisis sisi positif dari ritual ngafe dikalangan anak muda terutama mahasiswa. Pertama, kebutuhan eksistensi melalui café, anak muda dapat memperoleh kebutuhan makanan dengan berbagai macam variasi, dan menikmati suasana yang mereka sukai sehingga memberikan pengaruh kondisi kerja yang lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa cafe dapat menjadi sebuah tempat yang mampu menghasilkan gagasan-gagasan yang besar, misal sebagai ajang berkumpul dan berdiskusi bagi mahasiswa, pebisnis, ataupun para seniman. Kedua, kebutuhan atas relatedness pada tahapan ini kita melihat bahwa cafe membantu anak muda untuk dapat bersosialisasi dengan teman dan bertemu dengan orangorang baru di luar komunitasnya, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan berafilisiasi dengan orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk dapat terus tumbuh atau growth. Dalam hal ini cafe menjadi ikon pembentuk identitas dan karakter mereka sebagai orang modern yang membedakan dengan mereka yang tidak terbiasa mengunjungi cafe. Selain itu cafe juga turut serta dalam pembentukan kebutuhan aktualisasi diri dari anak-anak muda. Itu terwujud dengan keberadan cafe sebagai tempat yang banyak melahirkan komunitas-komunitas yang membantu anak muda dapat mengeskpresikan kemampuan dan kreatifitasnya. Kesimpulan Melalui pembahasan sebelumnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa globalisasi mampu membuat kopi bertransformasi menjadi minuman yang dapat diterima di berbagai kalangan. Keberadaan cafecafe di perkotaan telah menjadi instrumen untuk menciptakan dan membangun budaya minum kopi di kalangan anak muda sekaligus menjadikan kopi sebagai gaya hidup mereka. Artinya adalah cafe memiliki peran dalam menciptakan generasi muda sebagai bagian dari kategori sosial yang memiliki ciri dan identitas mereka sendiri. Melalui keberadaan cafe tersebut simbol-simbol diciptakan untuk menunjukkan identitas mereka berbeda dengan yang lainnya. Pengukuhan eksistensi sebagai masyarakat modern juga mereka lakukan melalui solidaritas dan membentuk komunitas yang memiliki pengaturan waktu tertentu. Cafe-cafe diperlakukan layaknya tempat ibadah yang harus dikunjungi secara rutin dengan menggunakan dan membawa simbol-simbol tertentu. Inilah yang disebut ritual bagi anak muda berhubungan dengan budaya minum kopi di era modern. Tidak semua ritual ngafe dikalangan anak muda ini bersifat negatif karena dianggap sebagai pemborosan, hedonis, dan tidak produktif karena membuangbuang waktu. Beberapa orang justru menemukan jati diri atau kenyamanan dan mampu bersosialisasi melalui keberadaan cafe-cafe tersebut. Terlepas dari dampak positif ataupun negatif budaya minum kopi di cafe, warung kopi, ataupun kedai kopi, yang pasti setiap orang memiliki hak untuk menetukan cara yang akan mereka pilih untuk dapat menikmati secangkir kopi. Oleh karena itu untuk menanggapi keberadaan ritual ngafe, anak muda harus dapat lebih bijaksana dalam mengambil sikap sehingga lebih banyak mendapatkan manfaat dari ritual tersebut. Daftar Pustaka Ivancevich, J. M. dkk. 2006. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga. Ritzer, George. 2014. The McDonaldization of Society. Yogayakarta : Pustaka Pelajar Saputra, Eka. 2008. Kopi: Dari Sejarah, Efek Bagi Kesehatan Tubuh, dan Gaya Hidup. Yogyakarta: Harmoni. Tucker, Catherine. M. 2011. Coffee Culture: Local Experiences, Global Connections. London: Routledge. Jurnal dan Karya Tulis Deflem, Mathieu. 1991. Ritual, AntiStructure, and Religion: A Discussion of Victor Turner’s Processual Symbolic Analysis. Journal for the Scientific Study of Religion, 30(1) Dimyati, Nur Suffi. 2009. Komunitas Kafe Sebagai Gaya hidup (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Fakultas Ushuluddin. Lukmantoro, Triyono. 2004, Ritual Hari Raya Agama: Histeria Konsumsi Massa dan Khotbah. Jurnal Komunikasi: VOLUME 1, NOMOR 1, JUNI 2004: 19-36 21 Edisi V (Mei-Juni) — 
Budaya ‘Ngopi’ di Kalangan Mahasiswa, Kebutuhan atau Hobi?
Sebagian besar pecinta kopi beranggapan bahwa menikmati secangkir kopi adalah suatu hal yang bisa mengisi waktu luang. Tetapi lain ceritanya bagi sebagian mahasiswa, menikmati secangkir kopi hanya bermakna jika dilakukan di warung kopi dan dibarengi obrolan-obrolan kecil bersama teman sebayanya. Bicara soal warung kopi, ada begitu banyak warung kopi kekinian yang tersebar di wilayah Kota Malang. Salah satunya adalah Unyil Coffe yang berlokasi di daerah Dinoyo Malang. Warung kopi ini menjadi salah satu tempat favorit untuk minum kopi bagi anak muda dan mahasiswa di Kota Malang. Hampir setiap malam, Unyil Coffe selalu ramai pengunjung yang mayoritas adalah mahasiswa. Tak hanya untuk bersantai sambil menyalakan batang rokok, ada juga sekelompok orang yang datang untuk membicarakan permasalahan organisasi atau politik. Seperti saat dikunjungi pada Sabtu (16/4) malam oleh tim redaksi. Tak ada yang tahu pasti, kapan budaya ‘ngopi’ ini menjamur di seantero Malang. “Kopi bisa mempermudah komunikasi antar penikmat kopi,” ujar Ridho, seorang mahasiswa Universitas Merdeka Malang. Ridho tak segan mengakui hobinya yang suka ‘ngopi’ bersama teman-temannya di hampir setiap minggu. Bahkan, katanya, tak jarang dari hobi ‘ngopi’ itu dirinya menemukan Budaya ‘Ngopi’ di Kalangan Mahasiswa, Kebutuhan atau Hobi? ide dan gagasan. Bagi pemuda 21 tahun itu, keberadaan warung kopi sangat membantunya memberikan sumber informasi dan inspirasi. Bagi sebagian mahasiswa pecinta kopi, menikmati kopi hasil racikan sendiri akan terasa berbeda dengan saat mereka menikmati kopi di warung kopi. “Rasanya berbeda dengan di warung kopi. Mungkin karena tidak adanya suasana bareng sama temen,” jawab Duta, ketika ditemui di Unyil Coffe. Mahasiswa rantau asal Jakarta ini menjadikan ritual ‘ngopi’ sebagai media bercengkrama dengan kawan komunitas atau kampusnya. “Saya kalo ngopi biasanya dengan sahabat-sahabat membicarakan masalah kampus. Tapi tidak jarang kita membicarakan tentang isu sosial, atau bermain kartu remi sampai malam,” imbuh Duta sambil menyesap kopi hitamnya yang tinggal setengah cangkir. Umumnya, para mahasiswa pecinta kopi ini menghabiskan waktunya untuk ‘ngopi’ selepas mereka pulang dari kuliah. Jadi wajar apabila ada yang menganggap ritual ‘ngopi’ sebagai kebutuhan atau hobi. Itu hanya salah satu cara mereka untuk melepas penat usai kuliah, mencari inspirasi, atau mengakrabkan diri dengan sesama penikmat kopi. (TRB)
Judul : “Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran” Penulis : Iman Budhi Santoso Penerbit : Memayu Publishing Jenis : Non-Fiksi Tahun terbit : Cetakan pertama, September 2012 Tebal : 263 halaman
Buku ini adalah salah satu buku karya Iman Budhi Santoso berjudul Spiritualisme Jawa: Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran. Melalui buku ini penulis mencoba untuk menjabarkan mengenai apa itu kebudayaan Jawa terutama dilihat dari aspek spiritualisme atau kepercayaan batin yang dianut oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Sehingga dari penjelasan tersebut, muncullah pemahaman tersendiri yang biasa kita sebut dengan istilah kejawen. Istilah kejawen di sini dijelaskan oleh penulis sebagai sebuah sinkretisasi antara agama Islam dengan agama dan kepercayaan lama yang sempat tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa. Penulis berhasil meruntut penjelasannya tentang spiritualisme Jawa: pertama mengenai konsep keselamatan dalam potret kehidupan masyarakat Jawa. Kedua, tentang tata hidup dan tata laku masyarakat Jawa yang dijabarkan lewat latar belakang kehidupan orang Jawa. Ketiga, tentang bagaimana kaitan antara aliran kepercayaan Jawa dengan nasihat dan peribahasa Jawa. Keempat, kajian dan eksplorasi penulis mengenai akar spiritualisme di Jawa yang sedikit banyak dipengaruhi pula oleh kepercayaan masyarakat Jawa. Terakhir, penulis menjelaskan tentang kepercayaan lokal yang ada dalam masyarakat Jawa serta hubungannya dengan akar agama yang dimiliki oleh masyarakat Jawa yang menjadi spiritualisme kejawen saat ini. Intisari dari buku ini terlihat jelas dari judul buku dan pembahasan penulis sangat akurat dengan tujuan penulisan buku ini. Meskipun banyak kosakata dan peribahasa dalam masyarakat Jawa, penulis buku ini berhasil membahasnya secara detail dan runtut agar pembaca lebih mudah memahaminya. Karena kita tahu, target pembaca disini adalah masyarakat atau mereka yang bukan berasal dari Jawa yang memang ingin memahami bagaimana budaya masyarakat Jawa dan bagaimana pemahaman yang dimiliki masyarakat Jawa tentang spiritualisme yang mereka anut. Spiritual disini dijelaskan sebagai sesuatu yang bukan hanya kepercayaan, tetapi ideologi kehidupan dimana kepercayaan tersebut mempengaruhi segala aspek budaya dalam masyarakat Jawa yang dijadikan sebagai panutan. Kelebihan buku ini adalah penulis berhasil menjelaskan semuanya yang berkaitan dengan spiritualisme Jawa secara mendetail sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Meskipun banyak sekali kosakata dalam bahasa Jawa yang tidak kita pahami sebelumnya, buku ini memberikan pemahaman mengenai setiap arti Edisi V (Mei-Juni) — Himantara Brawijaya BEJANA: Buletin Jurnal Antropologi dari kata-kata tersebut. Bahasa yang digunakan penulis cukup mudah untuk dipahami oleh pembaca, terutama mereka yang sama sekali tidak mengerti masyarakat Jawa pun, setelah membaca buku ini mereka mampu memahaminya. Kekurangan dari buku ini adalah adanya sudut pandang yang sedikit bias karena penulis sendiri sangat memahami budaya Jawa. Sehingga disadari atau tidak, terkadang penulis bersikap subjektif yakni penulis menjelaskan dengan perspektifnya sendiri dan kurangnya pandanganpandangan lain. Tetapi secara keseluruhan buku ini sesuai dengan tujuan penulis yakni untuk menjelaskan tentang seputar spiritualisme Jawa dengan sangat jelas sesuai dengan keinginan penulis. (MMK) 
WAYANG KEHIDUPAN “POTRET NEGERI” “It’s never too late to have a happy childhood.” - Tom Robbins, Still Life with Woodpecker Taken by: Desliyana. D.T 25 Edisi V (Mei-Juni) — Himantara Brawijaya BEJANA: Buletin Jurnal Antropologi TEGAR SAJAK Terkadang, Ada kalanya kita akan menangis, terpuruk, terjatuh, bahkan sampai tersungkur Tak berdaya dengan semua yang telah terjadi Walau hanya mengusir lalat yang hinggap Namun terkadang, Ada kalanya kita akan tegar, hebat, kuat Semua masalah terasa begitu ringan Bak bunga dandelion yang tertiup angin dan berterbangan Inilah manusia.. Tak pernah ada ketegaran abadi yang terus menyelimutinya Dan tak pernah ada kehebatan yang sempurna yang akan terus di genggamnya Namun, Jangan biarkan kesedihan itu terta- nam terlalu lama Dan jangan buat dirimu tertidur untuk waktu yang lama Bersiaplah, Kau punya segalanya Kau harus bangun Kau harus bangkit Kau punya hak untuk bahagia Dengan prestasi Lihatlah di depan sana Banyak hal yang sudah menanti.
CERPEN 
JUNOT
  “Nikmati saja dulu kopi pahit di cangkir kaleng jadul ini. Nikmati saja dulu rasa kopi pahit ini, siapa tau dari seteguk nantinya yang tertinggal cuman ampas hitamnya saja. Nikmati saja dulu rasa kopi hitam ini. Rasakan saja pahitnya, siapa tau kepahitan hari ini bisa sejenak dilupain. Nikmati saja dulu kopi pahitnya, siapa tau bisa ngobrol terus ngajak kenalan.” Sore itu di bulan Juni 2011, jalanan menuju rumahnya terasa seperti sore-sore lainnya. Sepi. Tidak ada yang menarik untuk dilihat, hanya rumah-rumah tua jaman kolonial Belanda. Rumah-rumah dengan desain yang kebanyakan menggunakan desain Art Deco, halaman luas, serta pintu dan jendela berukuran jumbo. Ya. Pemandangan biasa yang sudah dinikmati Junot sejak dia belum lahir, bahkan sejak nenek buyut generasi pertama keluarganya tinggal. Pemandangan area rumah elit jaman kolonial di sekitaran daerah kota tua Surabaya. Memang sudah menjadi makanan seharihari Junot setiap berjalan menuju rumahnya. Langit semakin merah menandakan matahari mengucapkan salam perpisahan untuk hari ini. Angin yang berhembus dengan pelan membuat Junot enggan untuk buru-buru sampai di rumahnya yang berada di ujung jalan. Lima blok dari ujung jalan masuk. Walau bosan Junot selalu senang menghabiskan setiap sore hari, ketika ia pulang kuliah untuk berjalan kaki ketika pulang. Lampu-lampu sepanjang jalan dan lampu-lampu di setiap rumah berdesai Art Deco yang mulai menyala menambah suasana damai dan sepi jaman kolonial dulunya. Seperti di film-film romantis Hollywood berlatar tahun 40-an. Walau seorang anak laki-laki, tentu Junot boleh merasakan hal-hal manis dan romantik seperti inikan batin Junot sambil terus berjalan dan melihat beberapa toko-toko kecil di sepanjang jalan yang mulai tutup. Sedang café-café maupun butik yang sejak dulu sudah berdiri masih memiliki daya tariknya hingga enggan untuk tutup lebih awal. Dua blok sudah Junot berjalan namun tetap tidak bosan menikmati jalanan sepi dan hanya beberapa orang yang berjalan maupun bersepeda di jalan utama area tersebut. Jarang sekali mobil-mobil maupun sepeda motor untuk lewat di daerah ini karena memang sejak dulu pemilik kendaraan bermotor yang tinggal di daerah perumahan elit jaman kolonial harus memutar dan lewat jalan besar walau jalan ini adalah jalan tercepat untuk sampai ke rumah. Bagi orang luar yang tinggal di luar area sini lebih memilih memarkir kendaraan bermotornya di luar jalan utama dan memilih berjalan kaki ataupun bersepeda jika berkunjung ke salah satu café ataupun butik di area ini. Banyaknya café di jalan utama ini menjadi destinasi favorit sejak jaman dulu. Tak terasa Junot sampai di depan café favoritnya sejak kecil. Seperti café-café tua lainnya,  bangunan yang tidak terlalu luas dengan kaca lebar yang membuat semua yang lewat dapat dengan jelas melihat interior di dalamnya. Warna putih dan gaya jadul masih setia melekat di café favoritnya ini. Koffie. Koffie menjadi nama café favorit Junot, seperti namanya tempat ini tentunya menjual kopi. Kakek buyutnya dari generasi pertama dan generasi kedua yang merupakan orang Belanda membuat tradisi keluarganya sejak dulu harus minum kopi. Kopi adalah minuman wajib bagi keluarga besar Junot susu dan jus jeruk. Tempat ini menjadi tempat penuh cerita bagi Junot. Sudut dekat meja kasir menjadi sudut favoritnya selama menghabiskan waktu di café tersebut. Ya. Sudut itu menjadi tempat kita dengan mudah memperhatikan setiap pelanggan yang masuk maupun yang sedang menikmati kopi mereka. Banyak cerita berbeda di setiap meja. Entah kesedihan, kegembiraan, putus asa, ataupun lainnya. Selalu ada cerita baru yang dapat kita dengar, bukan menguping tapi memang itulah yang terdengar selama Junot duduk sendirian dan hanya memperhatikan orang-orang di café tersebut. Junot memutuskan untuk meminum secangkir kopi hitam favoritnya. Seperti biasa ketika memasuki café tersebut suara lonceng di pintu akan berbunyi menandakan ada pelanggan yang datang. Terlihat seorang wanita berambut putih yang masih terlihat anggun seperti di foto-foto hitam putih yang terpajang di setiap sudut café ini. Ia tersenyum manis kearah Junot dan siapa lagi jika bukan Oma Madelief pemilik café tersebut. Ya. Oma Madelief adalah sahabat dari opanya Junot, Tidak heran jika Junot dianggap cucu sendiri oleh Oma Madeief. Junot tanpa perlu memesan sudah mendapat apa yang dia inginkan. Kopi hitam dengan gelas jadul yang terbuat dari kaleng. Berbeda dengan pelanggan lain yang menggunakan cangkir minum kopi vintage. “Kopi hitam selalu bisa menjadi teman baik ku disaat hari sangat melelahkan.” Batin Junot sambil menghirup aroma tajam dari kopi hitam pekat miliknya. Ramai. Kata yang keluar dari bibir Junot saat memperhatikan meja-meja yang penuh terisi. “Banyak café di luaran sana dengan menu yang menjual berbagai macam rasa kopi, kenapa selalu kesini dan hanya memesan kopi hitam sih?” Tanya seorang gadis muda berumur sekitar dua puluhan yang membuat Junot kaget dan mencari sumber suara si penanya tersebut. Gadis berambut hitam panjang dengan lesung pipi yang tergambar jelas ketika dia berbicara duduk di depan meja Junot. Gadis tersebut bertanya antusias kepada Junot dari seberang meja. Hanya tatapan bingung milik Junot saat itu yang muncul tanpa menjawab pertanyaan gadis di seberangnya itu. Gadis tersebut sadar dengan arti tatapan Junot dan menjelaskan jika ia sering melihat Junot duduk di meja tersebut dan selalu mendapatkan kopi hitam di gelas ala satpam yang lagi jaga di poskamling. Mendengar penjelasan gadis itu membuat Junot tertawa karena ia disamakan dengan satpam di pos kamling yang selalu meronda tiap malam. “Suka dengan rasa dan sensasinya.” Jawab Junot setelah tawanya selesai. Membuat gadis itu diam dan menaik-turunkan kepalanya. “Walau hitam pekat dan tidak ada istimewanya dibanding kopi dengan rasa-rasa lainnya. Kopi hitam ini punya rasa yang nggak pernah berubah, selalu sama dan perubahan rasa dari ketika masih panas hingga dingin membuat sensasi berbeda.” Jelas Junot panjang lebar. Gadis itu hanya diam dan tersenyum selama Junot menjelaskan kopi Hitam Favoritnya itu. “Kopi hitam selalu nikmat jika dinikmati sambil ngobrol kayak gini kan.” Kata gadis itu tibatiba yang membuat Junot menatap gadis yang sedang tersenyum manis di seberangnya. “Kopi hitam memang pahit dan pekat, namun jika diminum sendiri tentunya tetap akan pahit. Pahit yang kamu rasakan mungkin bisa buat kamu sejenak ngelupain lelah dan semua pikiran yang menumpuk di kepala kamu hari ini. Kalau kopi hitam dinikmati sambil ngobrol pasti tetap pahit. Tapi beban kamu akan hilang bukan sejenak jika kamu berbagi dengan mereka yang juga menikmati kopi untuk sejenak melupakan masalah mereka hari ini.” Lanjut gadis itu panjang lebar, membuat Junot tersenyum dan berpindah ke meja gadis itu. Sore itu, kopi hitam teman sepi Junot mulai dingin dengan larutnya kedua orang tak saling kenal itu berbicara membahas banyak hal. Hingga tak sadar waktu berjalan dengan begitu cepat. Kopi hitam kini tinggal ampasnya saja. Suasana ramai kini semakin sepi, namun bagi Junot sepi saat ini tidak sepahit kopi hitamnya. Kini kopi hitamnya memiliki rasa yang berbeda, rasa dengan sensasi menagih lebih candu dari sebelumnya. (gas)

Komentar

  1. Penataan tulisannya kurang rapi nih :(
    Sekalian kasih link buat download versi pdf dong biar bisa buat arsip.
    Tengkyuh

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUNCHING PENGURUS HIMANTARA PERIODE 2019

Ethnography Metods : The Logic of Thingking

PROGRAM KB: EFEKTIFKAH?