Buletin Edisi 5
Bejana
Buletin Jurnal Antropologi
BEJANA (Buletin Jurnal Antropologi) merupakan buletin mahasiswa yang
diterbitkan oleh Himaprodi Antropologi Brawijaya (HIMANTARA). Buletin ini digagas
oleh Divisi Litbang yang bekerjasama dengan Divisi Infokom yang masih di dalam
naungan Himantara.
Kata “Jurnal” dalam BEJANA merujuk pada arti sebagai catatan, sehingga
kata tersebut dapat dipahami sebagai catatan mahasiswa Antropologi Brawijaya yang
dituangkan dalam buletin ini. Selain itu kata “Buletin Jurnal” merujuk pada sifat
buletin sebagai media karya tulis mahasiswa Antropologi Brawijaya, dengan gaya penulisannya
yang semi ilmiah. Sehingga secara keseluruhan buletin BEJANA diharapkan
dapat menjadi wadah bagi mahasiswa Antropologi Brawijaya untuk menyampaikan dan
mengembangkan gagasannya melalui tulisan dan karya-karya lainnya.
SALAM BELAKANG LAYAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena dengan rahmat-Nya Buletin Jurnal Antropologi (BEJANA) edisi
kelima dari Himpunan Mahasiswa Program Studi Antropologi Brawijaya
(HIMANTARA) dapat diselesaikan. BEJANA telah terbit sebanyak empat
kali pada periode sebelumnya dan puji syukur mendapatkan banyak
respon positif, serta kritik dari para pembaca. Kami, selaku tim redaksi
terus berusaha untuk memberikan tulisan-tulisan yang berkualitas dan
menarik minat baca, serta dapat menambah wawasan para pembaca.
BEJANA edisi kelima kali ini mengangkat tema mengenai bu- daya minum kopi yang ada di kalangan mahasiswa saat ini, minum kopi
sendiri tidak hanya menjadi sebuah kegiatan yang konsumtif ataupun
gaya hidup semata, akan tetapi kaya akan nilai dan cerita serta tujuan di
balik kegiatan para peminum kopi tersebut. Tim redaksi mengajak para
pembaca sekalian untuk melihat fenomena sederhana yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang terdapat di lingkungan sekitar kita melalui
kacamata yang berbeda.
Buletin jurnal hasil kerjasama dari Divisi Litbang dan Divisi
Infokom HIMANTARA ini diharapkan nantinya dapat memberikan
dan memaparkan kajian mengenai segala hal berkaitan dengan budaya
minum kopi khususnya di kalangan mahasiswa melalui sudut pandang
Antropologi.
Bahan bacaan yang ada dalam BEJANA edisi kelima kami
sajikan dengan harapan memberikan konsep unik dan menarik dengan
menghadirkan konten selain artikel dan jurnal ilmiah. Buletin BEJANA
juga memiliki konten-konten, seperti profil tokoh, potret negeri, sajak,
dan konten lainnya dengan isi yang segar untuk dibaca. Saya selaku pe- mimpin redaksi BEJANA berharap apa yang telah kami sajikan dalam
BEJANA edisi kali ini menarik dan bermanfaat dalam memperkaya pan- dangan pembaca sekalian dalam melihat budaya di sekitar kita. Terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam proses persiapan
serta mensukseskan BEJANA edisi kelima ini.
Selamat membaca.
Redaksi,
Haflah Leste Distincta
SAJIAN UTAMA BEJANA:
Buletin Jurnal Antropologi
KOPI DAN BUDAYA NGOPI DALAM
MASYARAKAT MODERN
Kopi pertama yang menjadi
komoditas di Indonesia adalah
jenis kopi Arabika. Dahulu, VOC
menjadikan kopi sebagai komoditas
utama. Sehingga menjadi awal masyarakat
Indonesia mengenal kopi
dan menjadi penghasil kopi terbesar
nomor tiga di dunia hingga saat ini.
Tidak hanya menanam untuk diekspor
keluar, masyarakat Indonesia
juga memproduksi biji kopi untuk
dikonsumsi oleh masyarakatnya
sendiri. Dari Sabang sampai Merauke
terdapat beragam jenis kopi
dengan cara penyajian yang unik
dan berbeda satu sama lain. Kopi
kemudian menjadi budaya yang tidak
lepas dari masyarakat Indonesia
hingga saat ini.
Konsumsi muncul sebagai
sebuah perhatian budaya pada akhir
1950-an dan awal 1960-an dalam
perdebatan mengenai perkembangan
“masyarakat konsumen”. Ia
kemudian sangat tampak di dalam
kajian cultural studies pada tahun
1970-an di dalam karya mengenai
bagaimana pelbagai sub-kultur menyediakan
beragam komoditas untuk
menghasilkan makna alternatif
dan oposisional (Storey, 2008:143).
Analisis budaya perihal konsumsi
bermula dari perhatian politik marxisme. Masyarakat prakapitalis
bukanlah masyarakat konsumen
karena barang-barang sebagian
besar dibuat untuk konsumsi
segera atau ditukar dengan barang-barang
lain. Hanya sesudah
runtuhnya feodalisme dan munculnya
kapitalismelah, sebuah
sistem yang didasarkan pada pasar,
pada uang dan keuntungan,
konsumsi menjadi terpisah dari
kebutuhan-kebutuhan sederhana
dan muncul sebagai suatu aspek
penting dari aktivitas manusia
(Storey, 2008:144).
Setelah mulai munculnya
masyakat konsumen, maka
tidak dapat disangkal muncullah
ideologi konsumerisme. Yaitu
sugesti bahwa makna kehidupan
kita harus kita temukan pada apa
yang kita konsumsi, bukan pada
apa yang kita hasilkan. Herbert
Marcuse (1968) mengembangkan
deretan argumen ini, untuk
menunjukkan bahwa ideologi
konsumerisme mendorong kebutuhan
palsu dan bahwa kebutuhan
ini bekerja sebagai satu
bentuk kontrol sosial. Orangorang
itu mengenali diri mereka
di dalam mobil, perangkat hi-fi,
rumah bertingkat, perlengkapan dapur atau hanya dengan bersantai
di kafe sambil minum kopi. Mekanisme
itu sendiri, yang mengikatkan
individu pada masyarakatnya,
telah berubah; dan kontrol
sosial dilabuhkan pada kebutuhan-kebutuhan
baru yang telah dihasilkan.
Jadi menurut Marcuse,
pengiklan mendorong kebutuhan
palsu. Misalnya keinginan untuk
menjadi jenis orang tertentu, mengenakan
tipe pakaian tertentu, memakan
macam makanan tertentu,
meminum minuman khusus seperti
kopi, dan seterusnya. Dalam
hal ini, bisa dilihat dari fenomena
yang saat ini sering dilakukan.
Yaitu budaya ngopi.
Kopi dilihat pada ruang
gaya hidup, maka kita memasuki
persoalan bagaimana perubahan
pola perilaku dalam hal konsumsi
pada kopi dan identitas budaya
para peminum kopi yang muncul.
Berkaitan dengan hal tersebut,
masalah lain yang mengiringinya
adalah persoalan disposisi kelas
sosial dan selera. Kehadiran
espresso serta gagasan single origin
dan alat penyeduh kopi manual
seperti Vietnam drip, french press,
moka pot, syphon, pour over, dan
sebagainya, dari segi pola perilaku
konsumsi kita bisa melihat perbedaannya
sebelum hal-hal tersebut
hadir. Secara umum, sebelum
espresso dan alat penyeduh kopi
manual hadir, di Indonesia, kopi
dinikmati dengan cara tubruk, dan
saringan yang terbuat dari kain.
Pada segi identitas budaya yang
muncul dari aktivitas minum kopi
belum kompleks. Pada kala itu,
minum kopi secara umum sekedar
pendamping aktivitas ngobrol
atau bersantai dan bekerja dalam
tekanan. Identitas budaya keindonesiaan
pada kopi tubruk belum
terbangun sedemikian rupa. Pada
disposisi kelas sosial, minum kopi
masih dilihat sebagai hal yang biasa
pada umumnya. Soal selera,
masih berkutat pada persoalan apa
yang diminum, bukan bagaimana
ia diminum.
Sebelum munculnya
espresso based drinks, serta menjamurnya
kedai kopi, aktivitas
minum kopi oleh sebagian besar
orang masih dilihat sebagai aktivitas
rumahan. Ketika warung
makan atau warung kopi sederhana
menjadi marak, ruang untuk
menikmati kopi di luar rumah di
berbagai daerah mulai muncul.
Jika pada masa sekarang orang
hendak minum kopi pergi ke kafe;
ketika kafe belum ada, orang minum
kopi di luar rumah dan kantor
atau di pasar, warung makan,
dan warkop burjo, dan dalam beberapa
hal gerobak dorong yang menyajikan minuman botolan yang
turut serta menjual kopi. Dari segi
pendapatan, sebagian besar penikmati
kopi di tempat tersebut datang
dari kelas menengah ke bawah.
Disposisi kelas sosial yang hadir
belum mencerminkan sesuatu yang
diyakini ada. Persoalan selera pun
belum menjadi sesuatu yang perlu
dibincangkan sedemikian rupa.
Begitu kafe penyedia
espresso based drinks serta produsen
kopi bertaraf internasional masuk
ke dalam masyarakat, terjadi
pergeseran gaya hidup. Terlebih
ketika Starbucks hadir di Indonesia
pada tahun 2002. Dari segi demografis,
tempat-tempat minum kopi
berbasis espresso, masih didominasi
dari kalangan menengah ke
atas. Melalui espresso, adanya bentuk
baru terhadap identitas budaya,
disposisi kelas sosial, dan selera,
baik itu terlihat dalam identitas
keindonesiaan, kemodernan, citra
yang mewah, kebaratan, keitaliaan,
kemajuan, dan sebagainya.
Ketika informasi seputar
kopi mulai disebarkan dan bisa
diakses banyak orang, seperti gagasan
speciality coffee dan single
origin, lama-lama terjadi perkembangan
gaya hidup lain. Pada taraf
ini, kopi secara perlahan mulai
dipahami bukan sekadar apa, tapi
bagaimana ia diproses, disajikan,
dan diminum. Tersebarnya informasi
mengenai kopi, terutama
lewat internet, menciptakan pola
perilaku konsumsi tersendiri.
Perubahan gaya hidup minum
kopi berubah lagi begitu french
press dan vietnam drip mulai dipopulerkan.
Ditambah ketika pour
over dan syphon menyusul, bagi
para penikmat kopi cara melihat
kopi pun menjadi kompleks. Dengan
kemudahan mengakses alat
kopi nonespresso dan juga alat
pembuat espresso manual seperti
Presso, kedai kopi skala sedang
dan kecil mulai bermunculan,
mengingat dengan alat nonespresso
itu biaya yang dibutuhkan menjadi
lebih rendah.
Perbincangan single origin
di kalangan penikmat kopi ikut
membentuk perkembangan gaya
hidup. Orang mulai lebih spesifik
ketika memesan atau membutuhkan
kopi. Misalnya, memesan
atau mencari kopi dari daerah tertentu,
seperti Gayo, Toraja, dan
Jawa. Melalui konsep single origin
ini juga kedai kopi kecil dan
sedang yang tanpa menggunakan
mesin espresso menemukan disposisinya.
Belakangan, kedai kopi mulai berani menyodorkan
minuman kopi single origin yang
disajikan tanpa mesin espresso. Di
rumah-rumah para penikmat kopi
single origin dan specialty coffee
pun terjadi perubahan. Grinder atau
mesin penggiling biji kopi mulai
dimiliki sehingga membuat segelas
kopi pun menjadi memiliki tambahan
tata cara, misalnya menggiling
biji kopi ketika mau menyeduhnya.
Adanya forum yang membahas
kopi di dunia maya ikut
menandakan bahwa telah terjadi
perubahan dalam menikmati kopi.
Munculnya komunitas yang dibentuk
karena kecintaan pada kopi,
bukan karena sering nongkrong di
warung kopi sebagai gambaran dari
jaringan sosial khas yang terjadi
di lingkaran penikmat kopi. Oleh
karena itu, banyak variabel yang
bisa diamati untuk mendapatkan
gambaran mengenai perubahan
cara mengonsumsi kopi di tengah
masyarakat sekarang. Yang jelas,
sekarang kita sedang menyaksikan
perubahan tersebut.
Catatan Kaki:
http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id
(diakses pada 27 April 2016)
http://www.specialtycoffee.co.id/budaya-meminum-kopi-dalam-masyarakatkita/
(diakses tanggal 27 April 2016)
http://kopikopen.com/blog/cara-menyeduh-kopi/
(diakses pada tanggal 30
April 2016)
https://majalah.ottencoffee.co.id/
mengintip-sejarah-singkat-starbucks/
(diakses pada tanggal 30 April 2016)
Storey, John, 2008. Cultural Studies dan
kajian Budaya Pop. Indonesia: Jalasutra Benedict Richard O’Gorman
Anderson atau lebih dikenal Benedict Anderson
lahir di Kunming, China pada 26 Agustus 1936
dan meninggal di Batu, Indonesia pada Minggu,
13 Desember 2015. Beliau berasal dari sebuah
keluarga Anglo-Irlandia yang dibesarkan di
California dan pernah menempuh studi di
Universitas Cambridge. Benedict mulai dikenal
oleh dunia dan para ilmuwan sosial khususnya,
melalui bukunya yang berjudul Imagined
Communities. Tulisan ini dikategorikan sebagai
salah satu karya klasik dalam ilmu sosial dan
ilmu politik yang telah membuka banyak
pemikiran baru melalui konsep-konsepnya
mengenai nasionalisme suatu bangsa/nation.
Benedict berpendapat bahwa nasionalisme
dan bangsa/nation memiliki nilai karena
adanya individu-individu yang ‘menganggap’
dirinya sebagai bagian dari suatu komunitas.
Meskipun pada kenyataannya mustahil bagi
setiap individu benar-benar pernah melakukan
interaksi dengan individu lainnya. Melalui buku
ini pula kita dapat melihat bagaimana Benedict
menikmati dan mengagumi pengalaman historis
masing-masing bangsa berbeda untuk menjadi
sebuah nation, termasuk Indonesia.
Seumur hidupnya, Benedict Anderson
telah menulis lebih dari 400 publikasi yang
telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa.
Sebagian besar dari bukunya banyak membahas
mengenai perkembangan politik di Indonesia.
Salah satunya, buku bertajuk Revolusi Pemuda
yang menyoroti tentang Pendudukan Jepang
dan Perlawanan di Jawa 1944 – 1946. Berikut
beberapa karyanya: Benedict juga
dikenal karena kritikkritiknya
yang tajam
dan pedas terhadap
rezim Orde Baru
di Indonesia yang
pada saat itu berada
di bawah pimpinan
Presiden Soeharto.
Karya yang ditulis .
bersama rekannya Ruth McVey dan terbit
pada tahun 1965 tersebut dikenal sebagai
“Cornell Paper” yang berisi tentang analisis
peristiwa Gerakan 30 September (G30S).
Benedict menyimpulkan bahwa peristiwa
G30S merupakan persoalan internal Angkatan
Darat (AD) semata, sedangkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) tidak terlibat langsung di
dalamnya. Analisis dan pandangan-pandangan
kritis terhadap rezim Orde Baru inilah yang
menyebabkan ia dicekal dan dilarang masuk
ke Indonesia. Setelah Soeharto jatuh dari
kekuasaannya (1999), Benedict kembali lagi
berkunjung ke Indonesia. Hingga menjelang
akhir hayatnya, Benedict menerbitkan buku
terbarunya di Indonesia berjudul “Dibawah
Tiga Bendera; Anarkisme Global dan Imajinasi
Antikolonial” pada Agustus 2015 silam.
Budaya Ngopi di Kalangan
Mahasiswa: Hobi atau Lambang
Pergaulan?
Oleh:
Raissa Nadia Aulia
“Ngopi yuk?”
Kalimat ini pasti sudah tidak
asing terdengar di telinga kita, bukan?
Ya, ajakan ketika teman atau mungkin
kita sendiri sedang merasa tidak
memiliki kesibukan apa-apa atau dalam
bahasa kekiniannya “lagi gabut”.
Belum dapat diketahui secara
pasti kapan ‘budaya ngopi’ ini mulai
masuk ke Indonesia. Apakah budaya
ngopi ini muncul sejak tayangnya film
Filosofi Kopi yang diadopsi dari novel
karya Dee Lestari muncul di layar lebar?
Ah, saya rasa jauh dari sebelum film itu
diproduksi pun, budaya ini sudah lebih
dahulu muncul dan menjadi trend di
kalangan mahasiswa.
Mungkin bagi sebagian pencinta
kopi, mengkonsumsi secangkir kopi
dapat dilakukan dimana saja asalkan ada
waktu senggang. Namun bagi sebagian
mahasiswa, kegiatan ngopi hampir
sudah pasti dilakukan di warung kopi
atau kafe yang sekaligus menjadi tempat
yang pas untuk berdiskusi. Tidak
hanya itu, kegiatan ngopi ini juga
biasa dilakukan oleh mahasiswa
yang sedang dikejar deadline
tugas. Seperti yang kita tahu, di
dalam kopi terdapat kandungan
kafein yang bisa menghilangkan
rasa kantuk.
Terdapat banyak pilihan
tempat atau warung kopi yang bisa
dikunjungi. Di kota Malang, kota
dimana tempat saya menuntut
ilmu, hampir di setiap sudut jalan
dapat kita temukan tempat untuk
ngopi, mulai dari pedagang kaki
lima hingga kafe-kafe berinterior
menarik yang menyediakan
fasilitas free hotspot di dalamnya.
Tetapi yang menjadi pertanyaan
kita, apakah budaya ngopi bagi
mahasiswa merupakan sebuah
hobi atau hanya sebagai lambang
pergaulan semata?
Suatu malam, saya sedang
ngopi di salah satu kafe di sekitar
kampus bersama salah seorang
teman. Kafe tersebut bernuansa
minimalis dengan fasilitas
hotspot yang super kencang dan
stop kontak hampir di setiap
sudut ruangannya. Sekilas saya
mengamati aktivitas beberapa mahasiswa yang juga sedang
mengikuti ritual ngopi pada malam
itu. Di meja persis depan saya, ada
empat orang mahasiswa yang sibuk
dengan laptopnya masing-masing
dan sesekali menyeruput kopi
panas yang terletak di samping
laptopnya. Tidak ada interaksi yang
terjadi diantara mereka berempat.
Semua tenggelam di dalam
dunianya masing-masing, entah
apa yang sedang mereka kerjakan.
Tepat di sudut kafe, ada
dua orang mahasiswi yang sibuk
bercengkerama sambil menikmati
kopi dingin dengan sentuhan krim
di atasnya. Keduanya tampak
asyik berbagi cerita diselangi
dengan tawa yang cukup membuat
suasana kafe itu semakin ramai.
Beberapa pengunjung kafe malam
itu, sebagian besar merupakan
mahasiswa yang sedang sibuk
mengerjakan tugas atau hanya
sekedar berdiskusi dengan temantemannya.
Setelah mengamati
suasana kafe pada malam itu,
akhirnya saya memutuskan untuk
bertanya pada teman saya.
“Kamu biasanya kalo ngopi itu emang
karena hobi minum kopi atau cuma
pengen kumpul sama temen-temenmu?”
“Sebenernya ngopi itu cuma bahasa
ajakan sih. Menurutku ngopi itu nggak
harus minum kopi. Tapi ngopi itu bisa
berarti kesediaan kita untuk bertemu
dengan teman yang kita ajak ngopi dan
berdiskusi atau sekedar ngobrol-ngobrol
dengannya.”
Nah, dari jawaban teman saya
itu, saya jadi sadar bahwa “ngopi itu
nggak harus minum kopi”, tetapi ngopi
itu bisa bermakna sebagai bahasa
pengganti untuk sebuah ruang dimana
dua orang atau lebih berdiskusi. Pada
akhirnya makna ngopi bagi setiap
individu mungkin berbeda-beda.
Ada yang menganggapnya sebagai
sebuah ritual minum kopi, ada yang
memaknainya sebagai ajang untuk
berinteraksi dengan lawan ngopi-nya,
dan berbagai makna lainnya. Menurut
saya, apapun makna ngopi bagi setiap
orang yang terpenting hanya satu,
ngopi yang harus dihindari mahasiswa
yaitu ngopi-paste alias plagiarisme.
Budaya Ngopi Tumbangkan Mimpi atau
Pemicu Prestasi?
(Studi Kasus: Di Dalan Anyar Ponorogo)
Ngopi. Istilah tersebut tentu
sangat akrab ditelinga masyarakat.
Berbagai kalangan sangat suka untuk
melakukan aktivitas minum kopi.
Terutama bagi generasi muda yang
menjadikan minum kopi sebagai sebuah
kegiatan populer saat ini. Lalu, filosofi
apa yang sebenarnya terdapat pada kata
‘kopi’ hingga membuat sebagian besar
anak muda jatuh cinta padanya dan
seakan-akan mati tanpa minum kopi?.
Muncul banyak istilah dari kata ngopi
tersebut. Salah satunya, istilah kalangan
anak muda yang membuat kepanjangan
ngopi menjadi NGObrol PIntar. Contoh
lainnya kata kopi diartikan oleh kalangan
anak muda menjadi “Ketika Otak Perlu
Inspirasi”.
Salah satu penyebab kopi
sangat disukai oleh masyarakat adalah
karena akses yang mudah untuk
mendapatkannya. Secangkir kopi dapat
dengan mudah dinikmati dengan uang
sebesar dua ribu rupiah saja. Kemudahan
tersebut yang menyebabkan kopi dapat
dikonsumsi oleh masyarakat luas. Selain
itu, kopi yang dapat membuat kelopak
mata seakan menyala-nyala dan tahan
lama tatkala meminumnya. Membuat
kopi dipercayai sebagai obat pencegah
mata redup akibat rasa ngantuk.
Sehingga, setiap harinya setiap kalangan
masyarakat selalu mengkonsumsi kopi
untuk alasan-alasan tertentu mereka.
Kopi menjelma menjadi sebuah prioritas
utama bagi mereka. Tidak terkecuali pada
sebagian besar anak muda di Ponorogo
yang juga senang mengkonsumsi kopi.
Dibuktikan dengan anak muda di daerah
tersebut yang rela menghabiskan waktu
selama berjam-jam di Dalan Anyar hanya untuk secangkir kopi saja. Penjual kopi yang cantik dan energik menjadi salah satu pemicu
para pemuda betah nongkrong dan
enggan untuk beranjak pulang. Hingga
pada akhirnya kegiatan minum kopi
menyebabkan lupa akan tugastugas
yang harus dikerjakan,
kewajiban untuk belajar hingga
kewajiban membantu orang tua ikut
terlupa karenanya. Persepsi negatif
akhirnya muncul pada sebagian
besar masyarakat dan mereka
beranggapan para peminum kopi
selalu identik dengan orang-orang
yang tak mempunyai arah dan tujuan
yang jelas. Tidak memikirkan masa
depan, hanya kesenangan sesaat
saja yang dipikirkan. Akan tetapi,
bagi para pelanggan setia penikmat
kopi, Dalan Anyar dan kopi tetap
memiliki arti tersendiri.
Dalam menyikapi
fenomena tersebut ada baiknya kita
harus melihat budaya ngopi dari
berbagai sudut pandang. Setiap
orang mempunyai cara tersendiri
untuk mempertahankan hidupnya
dan tidak ada yang salah dari
perbedaan budaya tersebut. Begitu
juga dengan pecinta kopi yang
berada di Dalan Anyar Ponorogo,
tidak semerta-merta mereka hanya
berfoya-foya dan bersantai-santai
belaka. Namun lebih dari itu, Dalan
Anyar merupakan tempat yang
paling nyaman, tempat yang sejuk
dan rindang, serta tempat yang
menyediakan gazebo-gazebo yang tidak jarang menjadi ruang diskusi.
Di sekitaran Dalan Anyar juga
terdapat banyak kampus-kampus,
Gedung Olahraga Singodimejo,
Gedung Kebudayaan, dll. Hal ini
tentu membuat banyak pemuda
datang ke tempat tersebut baik
sekedar melepas dahaga atau tujuan
lainnya. Sehingga Dalan Anyar menjadi sebuah ruang yang nyaman
bagi mereka penikmat kopi yang
selalu memiliki alasannya sendirisendiri
ketika menikmati kopi.
Cafe dan Ritual Ngafe di Kalangan Anak Muda
Dyah Rahayuningtys, M.A
dayu_sophia@yahoo.com
Cafe telah menjadi bagian
dari gaya hidup anak muda sekarang,
terutama di perkotaan. Cafe di
perkotaan ibarat ‘jamur’, semakin
lama semakin berkembang dengan
berbagai macam variasi. Hampir di
setiap kota besar keberadaan cafe
menjadi pemandangan yang biasa
bahkan mungkin diwajibkan ada.
Tidak pelak lagi bahwa saat ini
cafe telah menjadi ikon baru dalam
gaya hidup modern, khususnya bagi
anak muda perkotaan. Cafe, kedai
kopi, warung kopi atau apapun itu
namanya menjadi alternatif dan
tempat hiburan bagi anak muda untuk
dapat menikmati hidup dengan gaya
mereka sendiri.
Kopi menjadi salah satu
‘budaya’ yang cukup digemari
oleh masyarakat dengan berbagai
tingkatan usia dan tidak lepas dari
peran globalisasi. Globalisasi sebagai
sebuah sistem mampu bergerak
mudah dari satu tempat ke tempat lain
atau dari lembaga ke lembaga lainnya,
dari satu masyarakat ke masyarakat
lainnya (Ritzer, 2014: 304). Dalam
hal ini kopi merupakan salah satu
komoditas yang berhubungan erat
13
Cafe dan Ritual Ngafe di Kalangan Anak Muda
Dyah Rahayuningtys, M.A
dayu_sophia@yahoo.com
dengan sistem ekonomi, sosial
dan budaya secara global (Tucker,
2011: XII). Jika sebelumnya kopi
identik dengan warna hitam dan
rasa yang pahit sehingga hanya
dinikmati oleh kalangan orang
tua, sekarang kopi menjadi
minuman dengan berbagai
macam variasi rasa yang mampu
menarik perhatian anak muda.
Pada awalnya kopi
dinikmati di kedai-kedai atau
warung-warung kecil pinggiran
jalan atau di pedesaan dengan
tujuan untuk melepas lelah
para pengedara jarak jauh atau
sebagai media berkumpul orangorang
ketika melepas kepenatan
kerja. Namun, arus globalisasi
telah membawa dampak
lahirnya budaya konsumerisme
dan menciptakan ruang bagi
masyarakat untuk memilih apa
yang mereka inginkan, termasuk
tempat mereka menikmati kopi.
Budaya konsumen menciptakan
tempat-tempat ngopi menjadi
salah satu ikon konsumerisme
di kalangan masyarakat yang
berbeda dengan sebelumnya. Saat ini cafe tidak hanya sekadar tempat
untuk minum kopi dan nongkrong,
tetapi juga menjadi budaya baru
yakni budaya ngopi sekaligus
gaya hidup bagi anak muda.
Bagi anak muda ataupun
mahasiswa, pergi ke cafe ataupun
kedai-kedai kopi menjadi
pemandangan yang umum dilihat.
Bahkan mereka menciptakan
komunitas-komunitas cafe
sehingga mengunjungi cafe
menjadi sesuatu yang tidak dapat
lepas dari kehidupan mereka
sebagai anak muda atau mahasiswa
(Dimyati, 2009: 1). Mengunjungi
cafe bagi anak muda seperti
halnya ritual yang perlu mereka
jalani untuk bisa menjadi bagian
dari generasi modern. Mereka
dapat menyatukan tindakan,
kepercayaan, dan pengetahuan
lain yang membedakan antara
mereka dengan golongan anak
muda yang bukan menikmat kopi
atau cafe (Tucker, 2011: 7).
Melihat cara dan kuantitas
anak muda atau mahasiswa
dalam mengunjungi cafe-café,
seperti halnya mereka sedang
melakukan ritual. Pada artikel
ini akan membahas dua hal
berkaitan dengan budaya konsumen,
yakni aktivitas anak muda yakni
berkunjung ke cafe-cafe dalam sudut
pandang ritual dan dampak ritual
tersebut di kalangan anak muda,
khususnya mahasiswa.
Ritual dan Gaya Hidup Modern
Keberadaan warung kopi
atau kedai-kedai kopi di masyarakat
khususnya Indonesia bukanlah hal
yang baru. Beberapa suku bangsa
di Indonesia telah lama mengenal
budaya minum kopi bersama.
Namun, istilah cafe atau cafe shops
memang menjadi fenomena yang
baru dan bahkan mengalahkan
istilah warkop (warung kopi) yang
terkesan jadul dan ketinggalan
jaman. Cafe shops merupakan istilah
yang merujuk pada sebuah tempat
untuk menikmati kopi dan telah
menjadi fenomena yang mengglobal.
Beberapa dekade terakhir ini, cafe
telah mengalami ekspansi yang
cukup dramatis. Di mall, airport,
maupun di belahan dunia lainnya kita
dapat menemukan coffee bars, coffee
shops, dan kios. Tidak dipungkiri
bahwa kemudian cafe menjadi
instrumen dalam penyebaran budaya
konsumsi kopi dalam era globalisasi
(Tucker, 2011: 3). Sebenarnya apa
yang yang dimaksud dengan budaya minum kopi atau coffee culture itu?
Kopi adalah sebuah zat, tetapi
budaya menanamkan kopi dengan
makna sosial dan simbolik. Melalui
budaya, dengan mengonsumsi
kopi seseorang dapat menegaskan
identitasnya, mengeskspresikan
nilai yang dimiliki atau menegaskan
ikatan sosialnya. Artinya, kopi
sebagai budaya merujuk pada
gagasan, perilaku, teknologi,
pemaknaan, serta segala sesuatu
yang berhubungan dengan kopi
(Tucker, 2011: 7). Berdasarkan
pemahaman tersebut, maka segala
sesuatu yang berhubungan dengan
kopi dapat kita lihat, dengar, dan
rasakan ketika berada di dalam
sebuah cafe. Melihat perjalanan
kopi kita dapat memahami
bagaimana kopi memiliki interaksi
dengan lingkungan di sekitarnya,
kopi dikembangkan oleh manusia
dari mulai penanaman sampai
dengan pengolahan, dan sebaliknya
manusia pun banyak dipengaruhi
kopi dalam interkasi sosialnya
(Saputra, 2008: 68). Oleh karena
itu, untuk coffee bars, coffee shops
memiliki peran sebagai media dalam
mengembangkan budaya minum
kopi di kalangan anak muda.
Saat ini budaya minum
kopi tidak lepas dari kalangan anak
muda yang dekat dengan kebiasaan
nongkrong dan ngobrol sampai
larut malam. Oleh karenanya
bertandang ke cafe-cafe sudah
menjadi sebuah ritual yang biasa
mereka lakukan untuk membentuk
dan menguatkan identitas mereka
sebagai bagian generasi modern.
Ritual dalam hal ini bukan merujuk
pada sesuatu yang bersifat saklar
keagamaan, tetapi ritual dalam
kaitannya dengan persoalan ini
dapat dimaknai sebagai tindakantindakan
yang selalu dilakukan
pada suatu waktu yang tetap (at
a fixed time) dan dalam cara yang
sama (in the same way) (Crowther
[ed.], 1995 via Lukmantoro,
2004: 24). Melalui pemahaman
ini kita dapat melihat bahwa
ritual bukan hanya sesuatu yang
berhubungan dan selalu dibatasi
dengan aktivitas yang bersifat
keagamaan. Namun, aktivitas
sosial lain yang bersifat rutin dan
memiliki mekanisme permanen
(Lukmantoro, 2004: 23). Kondisi
ini juga dapat menggambarkan
aktivitas atau tindakan anak muda
yang menjadikan cafe seperti
halnya tempat ibadah dimana
mengunjungi tempat tersebut menjadi sesuatu yang dilakukan
secara rutin atau bahkan suatu
keharusan dan dengan aturanaturan
yang tercermin dalam bentuk
perilaku dan tindakan.
Ritual dan Tindakan Simbolis
Di setiap kehidupan
beragama kita selalu menyaksikan
simbol-simbol keagamaan,
yang digunakan pada saat ritual
keagamaan. Simbol memiliki peran
penting dalam ritual keagamaan.
Simbol berfungsi sebagai alat
komunikasi kepada Tuhan sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai
pada saat upacara dilaksanakan.
Seperti yang sudah disampaikan
sebelumnya, kopi dan budaya
minum kopi mampu membangun
interaksi antara manusia. Interaksi
tersebut dibangun melalui simbolsimbol
tertentu yang berhubungan
dengan kopi, budaya ngopi, dan
ruang publik dalam hal ini cafe
shops. Menurut Turner (1967)
Simbol dapat berupa benda,
tindakan, istilah-istilah, hubungan,
peristiwa, atau unit spasial (Turner,
1967: 19 via Deflem, 1991: 3).
Simbol juga dapat kita
temukan pada relasi antara cafe, kopi
dan gaya hidup anak muda. Misalnya
tindakan dimana anak muda secara
rutin atau dalam jangka waktu
tertentu datang ke cafe, mereka
berdandan, mengenakan pakaian
bagus dan bersih. Bersama-sama
dengan teman lainnya untuk
diskusi, sekadar mengobrol,
ataupun duduk sendiri untuk
mengerjakan pekerjaan. Mereka
yang berkumpul memiliki gagasan
yang sama tentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan kopi
ataupun cafe. Mereka yang terbiasa
datang ke cafe mengetahui istilahistilah
berkaitan dengan minuman
dan makanan yang ditawarkan,
seperti venti caramel macchiato,
cappucino, americano, chocolate
mocha dan lain sebagainya tanpa
harus melihat papan menu. Perilaku
dan tindakan inilah yang mereka
gunakan sebagai media dalam
berkomunikasi dengan sesama
komunitas cafe. Pengetahuan akan
istilah-istilah atau segala sesuatu
yang berhubungan dengan cafe
sebagai komunitasnya menjadi
pembeda antara mereka yang tidak
terbiasa mengunjungi cafe.
Perbedaan antara ritual
dan keagaman dan ritual ngafe
anak muda adalah ritual religi
yang mengarah pada tujuan-tujuan transendental. Sementara ritual
mendatangi cafe atau ngafe memiliki
nilai untuk mencapai penghargaan
secara sosial dan pembentukan
identitas. Mengaitkan ritual sebagai
aktivitas yang berhubungan dengan
religiusitas dengan aktivitas anak
muda yang selalu mengunjungi
cafe, tentu muncul pertanyaan di
benak kita mengenai apakah ada
dampak positif dengan apa yang
dilakukan oleh anak-anak muda
ini dengan mereka rutin medatangi
café? Mengingat bahasan tentang
ritual selalu berhubungan dengan
religiusitas yang bersifat positif?
Penjelasan yang mudah dalam hal
ini adalah bagaimana ritual-ritual
mendatangi cafe menjadi dampak
dari budaya konsumen yang terjadi
di kalangan anak muda saat ini?
Dampak Ritual Ngafe
Pembahasan yang biasa
kita dengar tentang budaya minum
kopi di cafe-cafe dikalangan anak
muda membawa dampak negatif.
Konstruksi masyarakat membuat
kita cenderung membenarkan
beberapa hal tersebut. Namun, di
satu sisi kita tidak bisa menutup mata
bahwa dalam budaya konsumen
seperti menikmati kopi ala anak
muda zaman sekarang juga terdapat
sisi-sisi positif. Pada bagian inilah,
saya akan membahas beberapa hal
berkaitan dengan dampak ritual
ngafe di kalangan anak muda dan
mahasiswa, baik dari segi negatif
maupun positif.
Dampak Negatif
Negatif dalam konstruksi
masyarakat dianggap sebagai
sesuatu yang sifatnya tidak baik,
tidak bagus, dan tidak sesuai
dengan norma yang berlaku.
Melalui konstruksi sosial kita
terbiasa dengan dua istilah yang
saling berseberangan ini atau
dalam istilah akademisnya disebut
oposisi binner, dimana ada hal
negatif dan hal positif. Ritual ngafe
bagi anak muda menjadi salah satu
bagian dari fenomena sosial yang
dikonstruksi dalam dua sisi yakni
positif dan negatif. Pada bagian
ini akan dibahas beberapa hal
berkaitan dengan dampak negatif
dari ritual ngafe anak muda.
Pertama, adanya ritual
ngafe membawa dampak budaya
konsumerisme dan hedonis yang
semakin meningkat dikalangan
anak muda. Hedonis adalah gaya
hidup yang berorientasi dengan
kesenangan dan kepuasan dunia semata. Artinya, tujuan datang ke
cafe-cafe tidak lagi hanya sekadar
menikmati kopi, tetapi mereka
menikmati suasana dan kepuasan
dalam hal prestise ketika berada
di suatu cafe tertentu meskipun
dengan harga kopi yang jauh lebih
mahal. Kedua, lahirnya sikap boros
dalam ritual ngafe dikalangan anak
muda, karena mereka membeli
sesuatu yang tidak benar-benar
mereka butuhkan. Ketiga, ritual
ini membuat hidup anak muda
menjadi tidak produktif karena
banyak membuang waktu dengan
hal-hal yang tidak bermanfaat. Pada
tataran ini kita harus membedakan
antara mengisi waktu luang
dari istilah leissure time dengan
menghabiskan waktu. Leissure time
adalah waktu yang digunakan untuk
penyeimbang antara rutinitas kerja
dengan kepenatan dan kebosanan
dalam dunia kerja dengan tujuan
memperbaiki ritme dalam bekerja.
Berbeda dengan membuang
waktu atau menghabiskan waktu
dikalangan anak muda yang
terkadang tidak membawa manfaat.
Dampak Positif
Jika sebelumnya kita telah
membahas mengenai dampak
negatif dari ritual ngafe dikalangan
anak muda, maka pada bagian ini
akan kita bahas dampak positif
dari ritual tersebut. Terkadang kita
mengalami kesulitan memandang
sebuah peristiwa sosial secara
positif ketika peristiwa tersebut
dibangun dalam wacana negatif
di masyarakat. Hal tersebut
membawa kita pada pandangan
yang sama dengan apa yang
telah dibangun oleh kebanyakan
masyarakat. Seperti halnya ritual
ngafe dikalangan anak muda,
dimana ternyata tidak semua hal
yang mereka lakukan bersifat
negatif. Beberapa hal ternyata
memiliki dampak positif bagi
para penikmatnya terutama anakanak
muda. Berikut hal-hal positif
yang dapat kita lihat dalam ritual
tersebut.
Dampak positif ini akan
merujuk pada tiga hierarki
kebutuhan manusia menurut
Alderfer yakni (1) Eksistensi yakni
kebutuhan yang dipuaskan oleh
faktor-faktor seperti makanan,
imbalan, dan kondisi kerja (2)
Hubungan atau relatedness yaitu
kebutuhan yang dipuaskan oleh
hubungan sosial dan interpersonal
yang berarti (3) Pertumbuhan
atau growth yaitu kebutuhan yang dipuaskan jika individu membuat
kontribusi yang produktif atau kreatif
(Ivancevich, 2006: 150). Melalui
teori ini kita akan menganalisis sisi
positif dari ritual ngafe dikalangan
anak muda terutama mahasiswa.
Pertama, kebutuhan
eksistensi melalui café, anak muda
dapat memperoleh kebutuhan
makanan dengan berbagai macam
variasi, dan menikmati suasana yang
mereka sukai sehingga memberikan
pengaruh kondisi kerja yang
lebih baik. Tidak dapat dipungkiri
bahwa cafe dapat menjadi sebuah
tempat yang mampu menghasilkan
gagasan-gagasan yang besar,
misal sebagai ajang berkumpul
dan berdiskusi bagi mahasiswa,
pebisnis, ataupun para seniman.
Kedua, kebutuhan atas relatedness
pada tahapan ini kita melihat
bahwa cafe membantu anak muda
untuk dapat bersosialisasi dengan
teman dan bertemu dengan orangorang
baru di luar komunitasnya,
sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan berafilisiasi dengan
orang lain. Ketiga, kebutuhan untuk
dapat terus tumbuh atau growth.
Dalam hal ini cafe menjadi ikon
pembentuk identitas dan karakter
mereka sebagai orang modern yang
membedakan dengan mereka
yang tidak terbiasa mengunjungi
cafe. Selain itu cafe juga turut
serta dalam pembentukan
kebutuhan aktualisasi diri dari
anak-anak muda. Itu terwujud
dengan keberadan cafe sebagai
tempat yang banyak melahirkan
komunitas-komunitas yang
membantu anak muda dapat
mengeskpresikan kemampuan dan
kreatifitasnya.
Kesimpulan
Melalui pembahasan
sebelumnya kita dapat menarik
kesimpulan bahwa globalisasi
mampu membuat kopi
bertransformasi menjadi minuman
yang dapat diterima di berbagai
kalangan. Keberadaan cafecafe
di perkotaan telah menjadi
instrumen untuk menciptakan dan
membangun budaya minum kopi
di kalangan anak muda sekaligus
menjadikan kopi sebagai gaya
hidup mereka. Artinya adalah cafe
memiliki peran dalam menciptakan
generasi muda sebagai bagian dari
kategori sosial yang memiliki
ciri dan identitas mereka sendiri.
Melalui keberadaan cafe tersebut
simbol-simbol diciptakan untuk
menunjukkan identitas mereka berbeda dengan yang lainnya.
Pengukuhan eksistensi sebagai
masyarakat modern juga mereka
lakukan melalui solidaritas dan
membentuk komunitas yang
memiliki pengaturan waktu tertentu.
Cafe-cafe diperlakukan layaknya
tempat ibadah yang harus dikunjungi
secara rutin dengan menggunakan
dan membawa simbol-simbol
tertentu. Inilah yang disebut ritual
bagi anak muda berhubungan
dengan budaya minum kopi di era
modern.
Tidak semua ritual ngafe
dikalangan anak muda ini bersifat
negatif karena dianggap sebagai
pemborosan, hedonis, dan tidak
produktif karena membuangbuang
waktu. Beberapa orang
justru menemukan jati diri
atau kenyamanan dan mampu
bersosialisasi melalui keberadaan
cafe-cafe tersebut. Terlepas dari
dampak positif ataupun negatif
budaya minum kopi di cafe, warung
kopi, ataupun kedai kopi, yang
pasti setiap orang memiliki hak
untuk menetukan cara yang akan
mereka pilih untuk dapat menikmati
secangkir kopi. Oleh karena itu
untuk menanggapi keberadaan
ritual ngafe, anak muda harus dapat
lebih bijaksana dalam mengambil
sikap sehingga lebih banyak
mendapatkan manfaat dari ritual
tersebut.
Daftar Pustaka
Ivancevich, J. M. dkk. 2006. Perilaku dan
Manajemen Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Ritzer, George. 2014. The McDonaldization
of Society. Yogayakarta : Pustaka Pelajar
Saputra, Eka. 2008. Kopi: Dari Sejarah, Efek
Bagi Kesehatan Tubuh, dan Gaya
Hidup. Yogyakarta: Harmoni.
Tucker, Catherine. M. 2011. Coffee Culture:
Local Experiences, Global
Connections. London: Routledge.
Jurnal dan Karya Tulis
Deflem, Mathieu. 1991. Ritual, AntiStructure,
and Religion: A Discussion
of Victor Turner’s Processual Symbolic
Analysis. Journal for the Scientific Study of
Religion, 30(1)
Dimyati, Nur Suffi. 2009. Komunitas Kafe
Sebagai Gaya hidup (Skripsi).
Yogyakarta: Universitas Islam
Negeri Fakultas Ushuluddin.
Lukmantoro, Triyono. 2004, Ritual Hari Raya
Agama: Histeria Konsumsi Massa
dan Khotbah. Jurnal Komunikasi:
VOLUME 1, NOMOR 1, JUNI
2004: 19-36
21 Edisi V (Mei-Juni) —
Budaya ‘Ngopi’ di Kalangan Mahasiswa, Kebutuhan
atau Hobi?
Sebagian besar pecinta kopi
beranggapan bahwa menikmati
secangkir kopi adalah suatu hal yang
bisa mengisi waktu luang. Tetapi lain
ceritanya bagi sebagian mahasiswa,
menikmati secangkir kopi hanya
bermakna jika dilakukan di warung
kopi dan dibarengi obrolan-obrolan
kecil bersama teman sebayanya.
Bicara soal warung kopi, ada
begitu banyak warung kopi kekinian
yang tersebar di wilayah Kota Malang.
Salah satunya adalah Unyil Coffe yang
berlokasi di daerah Dinoyo Malang.
Warung kopi ini menjadi salah satu
tempat favorit untuk minum kopi bagi
anak muda dan mahasiswa di Kota
Malang.
Hampir setiap malam, Unyil
Coffe selalu ramai pengunjung yang
mayoritas adalah mahasiswa. Tak hanya
untuk bersantai sambil menyalakan
batang rokok, ada juga sekelompok
orang yang datang untuk membicarakan
permasalahan organisasi atau politik.
Seperti saat dikunjungi pada Sabtu
(16/4) malam oleh tim redaksi.
Tak ada yang tahu pasti, kapan
budaya ‘ngopi’ ini menjamur di seantero
Malang. “Kopi bisa mempermudah
komunikasi antar penikmat kopi,” ujar
Ridho, seorang mahasiswa Universitas
Merdeka Malang.
Ridho tak segan mengakui
hobinya yang suka ‘ngopi’ bersama
teman-temannya di hampir setiap
minggu. Bahkan, katanya, tak jarang
dari hobi ‘ngopi’ itu dirinya menemukan
Budaya ‘Ngopi’ di Kalangan Mahasiswa, Kebutuhan
atau Hobi?
ide dan gagasan. Bagi pemuda 21
tahun itu, keberadaan warung kopi
sangat membantunya memberikan
sumber informasi dan inspirasi.
Bagi sebagian mahasiswa
pecinta kopi, menikmati kopi hasil
racikan sendiri akan terasa berbeda
dengan saat mereka menikmati
kopi di warung kopi. “Rasanya
berbeda dengan di warung kopi.
Mungkin karena tidak adanya
suasana bareng sama temen,” jawab
Duta, ketika ditemui di Unyil Coffe.
Mahasiswa rantau asal Jakarta ini
menjadikan ritual ‘ngopi’ sebagai
media bercengkrama dengan kawan
komunitas atau kampusnya.
“Saya kalo ngopi
biasanya dengan sahabat-sahabat
membicarakan masalah kampus.
Tapi tidak jarang kita membicarakan
tentang isu sosial, atau bermain kartu
remi sampai malam,” imbuh Duta
sambil menyesap kopi hitamnya yang
tinggal setengah cangkir.
Umumnya, para mahasiswa
pecinta kopi ini menghabiskan
waktunya untuk ‘ngopi’ selepas
mereka pulang dari kuliah. Jadi wajar
apabila ada yang menganggap ritual
‘ngopi’ sebagai kebutuhan atau hobi.
Itu hanya salah satu cara mereka
untuk melepas penat usai kuliah,
mencari inspirasi, atau mengakrabkan
diri dengan sesama penikmat kopi.
(TRB)
Judul : “Spiritualisme Jawa:
Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran”
Penulis : Iman Budhi Santoso
Penerbit : Memayu Publishing
Jenis : Non-Fiksi
Tahun terbit : Cetakan pertama,
September 2012
Tebal : 263 halaman
Buku ini adalah salah satu
buku karya Iman Budhi Santoso
berjudul Spiritualisme Jawa:
Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran.
Melalui buku ini penulis mencoba
untuk menjabarkan mengenai apa
itu kebudayaan Jawa terutama
dilihat dari aspek spiritualisme atau
kepercayaan batin yang dianut oleh
masyarakat Jawa pada umumnya.
Sehingga dari penjelasan tersebut,
muncullah pemahaman tersendiri
yang biasa kita sebut dengan istilah
kejawen.
Istilah kejawen di sini
dijelaskan oleh penulis sebagai
sebuah sinkretisasi antara agama
Islam dengan agama dan
kepercayaan lama yang sempat
tumbuh dan berkembang di
Pulau Jawa. Penulis berhasil
meruntut penjelasannya
tentang spiritualisme Jawa:
pertama mengenai konsep
keselamatan dalam potret
kehidupan masyarakat Jawa.
Kedua, tentang tata hidup dan
tata laku masyarakat Jawa yang
dijabarkan lewat latar belakang
kehidupan orang Jawa. Ketiga,
tentang bagaimana kaitan
antara aliran kepercayaan Jawa
dengan nasihat dan peribahasa
Jawa. Keempat, kajian dan
eksplorasi penulis mengenai akar
spiritualisme di Jawa yang sedikit
banyak dipengaruhi pula oleh
kepercayaan masyarakat Jawa.
Terakhir, penulis menjelaskan
tentang kepercayaan lokal yang ada dalam masyarakat Jawa serta
hubungannya dengan akar agama yang
dimiliki oleh masyarakat Jawa yang
menjadi spiritualisme kejawen saat ini.
Intisari dari buku ini terlihat
jelas dari judul buku dan pembahasan
penulis sangat akurat dengan tujuan
penulisan buku ini. Meskipun banyak
kosakata dan peribahasa dalam
masyarakat Jawa, penulis buku ini
berhasil membahasnya secara detail
dan runtut agar pembaca lebih mudah
memahaminya. Karena kita tahu, target
pembaca disini adalah masyarakat
atau mereka yang bukan berasal dari
Jawa yang memang ingin memahami
bagaimana budaya masyarakat Jawa
dan bagaimana pemahaman yang
dimiliki masyarakat Jawa tentang
spiritualisme yang mereka anut.
Spiritual disini dijelaskan sebagai
sesuatu yang bukan hanya kepercayaan,
tetapi ideologi kehidupan dimana
kepercayaan tersebut mempengaruhi
segala aspek budaya dalam masyarakat
Jawa yang dijadikan sebagai panutan.
Kelebihan buku ini adalah penulis
berhasil menjelaskan semuanya yang
berkaitan dengan spiritualisme Jawa
secara mendetail sehingga mudah
dipahami oleh pembaca. Meskipun
banyak sekali kosakata dalam
bahasa Jawa yang tidak kita pahami
sebelumnya, buku ini memberikan
pemahaman mengenai setiap arti
Edisi V (Mei-Juni) — Himantara Brawijaya
BEJANA: Buletin Jurnal Antropologi
dari kata-kata tersebut. Bahasa
yang digunakan penulis cukup
mudah untuk dipahami oleh
pembaca, terutama mereka
yang sama sekali tidak mengerti
masyarakat Jawa pun, setelah
membaca buku ini mereka
mampu memahaminya.
Kekurangan dari buku
ini adalah adanya sudut pandang
yang sedikit bias karena penulis
sendiri sangat memahami
budaya Jawa. Sehingga
disadari atau tidak, terkadang
penulis bersikap subjektif
yakni penulis menjelaskan
dengan perspektifnya sendiri
dan kurangnya pandanganpandangan
lain. Tetapi secara
keseluruhan buku ini sesuai
dengan tujuan penulis yakni
untuk menjelaskan tentang
seputar spiritualisme Jawa
dengan sangat jelas sesuai
dengan keinginan penulis.
(MMK)
WAYANG KEHIDUPAN
“POTRET NEGERI”
“It’s never too late to have
a happy childhood.” - Tom
Robbins, Still Life with
Woodpecker
Taken by: Desliyana. D.T
25 Edisi V (Mei-Juni) — Himantara Brawijaya
BEJANA: Buletin Jurnal Antropologi
TEGAR
SAJAK
Terkadang,
Ada kalanya kita akan menangis,
terpuruk, terjatuh, bahkan sampai
tersungkur
Tak berdaya dengan semua yang
telah terjadi
Walau hanya mengusir lalat yang
hinggap
Namun terkadang,
Ada kalanya kita akan tegar, hebat,
kuat
Semua masalah terasa begitu
ringan
Bak bunga dandelion yang tertiup
angin dan berterbangan
Inilah manusia..
Tak pernah ada ketegaran abadi
yang terus menyelimutinya
Dan tak pernah ada kehebatan
yang sempurna yang akan terus di
genggamnya
Namun,
Jangan biarkan kesedihan itu terta- nam terlalu lama
Dan jangan buat dirimu tertidur
untuk waktu yang lama
Bersiaplah,
Kau punya segalanya
Kau harus bangun
Kau harus bangkit
Kau punya hak untuk bahagia
Dengan prestasi
Lihatlah di depan sana
Banyak hal yang sudah
menanti.
CERPEN
JUNOT
“Nikmati saja dulu
kopi pahit di cangkir
kaleng jadul ini.
Nikmati saja dulu
rasa kopi pahit ini,
siapa tau dari seteguk
nantinya yang tertinggal
cuman ampas hitamnya
saja. Nikmati
saja dulu rasa kopi hitam
ini. Rasakan saja
pahitnya, siapa tau
kepahitan hari ini bisa
sejenak dilupain. Nikmati
saja dulu kopi pahitnya,
siapa tau bisa
ngobrol terus ngajak
kenalan.”
Sore itu di bulan
Juni 2011, jalanan
menuju rumahnya terasa
seperti sore-sore lainnya.
Sepi. Tidak ada yang
menarik untuk dilihat,
hanya rumah-rumah tua
jaman kolonial Belanda.
Rumah-rumah dengan
desain yang kebanyakan
menggunakan desain Art
Deco, halaman luas, serta
pintu dan jendela berukuran
jumbo. Ya. Pemandangan
biasa yang sudah
dinikmati Junot sejak dia
belum lahir, bahkan sejak
nenek buyut generasi
pertama keluarganya
tinggal.
Pemandangan area rumah
elit jaman kolonial di
sekitaran daerah kota tua
Surabaya. Memang sudah
menjadi makanan seharihari
Junot setiap berjalan
menuju rumahnya. Langit
semakin merah menandakan
matahari mengucapkan
salam perpisahan
untuk hari ini. Angin yang
berhembus dengan pelan
membuat Junot enggan
untuk buru-buru sampai di
rumahnya yang berada di
ujung jalan. Lima blok dari
ujung jalan masuk.
Walau bosan Junot
selalu senang menghabiskan
setiap sore hari,
ketika ia pulang kuliah
untuk berjalan kaki ketika
pulang. Lampu-lampu
sepanjang jalan dan lampu-lampu
di setiap rumah
berdesai Art Deco yang
mulai menyala menambah
suasana damai dan sepi
jaman kolonial dulunya.
Seperti di film-film romantis
Hollywood berlatar tahun
40-an. Walau seorang
anak laki-laki, tentu Junot
boleh merasakan hal-hal
manis dan romantik seperti
inikan batin Junot sambil
terus berjalan dan melihat
beberapa toko-toko kecil di
sepanjang jalan yang mulai
tutup. Sedang café-café
maupun butik yang sejak
dulu sudah berdiri masih
memiliki daya tariknya
hingga enggan untuk tutup
lebih awal.
Dua blok sudah
Junot berjalan namun tetap
tidak bosan menikmati
jalanan sepi dan hanya beberapa
orang yang berjalan
maupun bersepeda di jalan
utama area tersebut. Jarang
sekali mobil-mobil maupun
sepeda motor untuk
lewat di daerah ini karena
memang sejak dulu pemilik
kendaraan bermotor
yang tinggal di daerah perumahan
elit jaman kolonial
harus memutar dan lewat
jalan besar walau jalan
ini adalah jalan tercepat
untuk sampai ke rumah.
Bagi orang luar yang tinggal
di luar area sini lebih
memilih memarkir kendaraan
bermotornya di luar
jalan utama dan memilih
berjalan kaki ataupun bersepeda
jika berkunjung ke
salah satu café ataupun butik
di area ini.
Banyaknya café
di jalan utama ini menjadi
destinasi favorit sejak jaman
dulu. Tak terasa Junot
sampai di depan café favoritnya
sejak kecil. Seperti
café-café tua lainnya, bangunan yang tidak terlalu
luas dengan kaca lebar
yang membuat semua yang
lewat dapat dengan jelas
melihat interior di dalamnya.
Warna putih dan gaya
jadul masih setia melekat
di café favoritnya ini. Koffie.
Koffie menjadi nama
café favorit Junot, seperti
namanya tempat ini tentunya
menjual kopi.
Kakek buyutnya
dari generasi pertama
dan generasi kedua yang
merupakan orang Belanda
membuat tradisi keluarganya
sejak dulu harus minum
kopi. Kopi adalah
minuman wajib bagi keluarga
besar Junot susu
dan jus jeruk. Tempat ini
menjadi tempat penuh
cerita bagi Junot. Sudut
dekat meja kasir menjadi
sudut favoritnya selama
menghabiskan waktu di
café tersebut. Ya. Sudut
itu menjadi tempat kita
dengan mudah memperhatikan
setiap pelanggan
yang masuk maupun yang
sedang menikmati kopi
mereka. Banyak cerita berbeda
di setiap meja. Entah
kesedihan, kegembiraan,
putus asa, ataupun lainnya.
Selalu ada cerita baru yang
dapat kita dengar, bukan
menguping tapi memang
itulah yang terdengar selama
Junot duduk sendirian
dan hanya memperhatikan
orang-orang di café tersebut.
Junot memutuskan
untuk meminum secangkir
kopi hitam favoritnya.
Seperti biasa ketika
memasuki café tersebut suara
lonceng di pintu akan
berbunyi menandakan ada
pelanggan yang datang.
Terlihat seorang wanita
berambut putih yang masih
terlihat anggun seperti di
foto-foto hitam putih yang
terpajang di setiap sudut
café ini. Ia tersenyum manis
kearah Junot dan siapa
lagi jika bukan Oma Madelief
pemilik café tersebut.
Ya. Oma Madelief adalah
sahabat dari opanya Junot,
Tidak heran jika Junot dianggap
cucu sendiri oleh
Oma Madeief.
Junot tanpa perlu
memesan sudah mendapat
apa yang dia inginkan.
Kopi hitam dengan gelas
jadul yang terbuat dari
kaleng. Berbeda dengan
pelanggan lain yang menggunakan
cangkir minum
kopi vintage.
“Kopi hitam selalu bisa
menjadi teman baik ku
disaat hari sangat melelahkan.”
Batin Junot sambil
menghirup aroma tajam
dari kopi hitam pekat miliknya.
Ramai. Kata yang
keluar dari bibir Junot saat
memperhatikan meja-meja
yang penuh terisi.
“Banyak café di
luaran sana dengan menu
yang menjual berbagai
macam rasa kopi, kenapa
selalu kesini dan hanya
memesan kopi hitam sih?”
Tanya seorang gadis muda
berumur sekitar dua puluhan
yang membuat Junot
kaget dan mencari sumber
suara si penanya tersebut.
Gadis berambut hitam
panjang dengan lesung
pipi yang tergambar jelas
ketika dia berbicara duduk
di depan meja Junot. Gadis
tersebut bertanya antusias
kepada Junot dari seberang
meja. Hanya tatapan bingung
milik Junot saat itu
yang muncul tanpa menjawab pertanyaan gadis di
seberangnya itu.
Gadis tersebut sadar
dengan arti tatapan Junot
dan menjelaskan jika ia
sering melihat Junot duduk
di meja tersebut dan selalu
mendapatkan kopi hitam
di gelas ala satpam yang
lagi jaga di poskamling.
Mendengar penjelasan gadis
itu membuat Junot tertawa
karena ia disamakan
dengan satpam di pos kamling
yang selalu meronda
tiap malam.
“Suka dengan
rasa dan sensasinya.” Jawab
Junot setelah tawanya
selesai. Membuat gadis itu
diam dan menaik-turunkan
kepalanya.
“Walau hitam
pekat dan tidak ada istimewanya
dibanding kopi
dengan rasa-rasa lainnya.
Kopi hitam ini punya
rasa yang nggak pernah
berubah, selalu sama dan
perubahan rasa dari ketika
masih panas hingga dingin
membuat sensasi berbeda.”
Jelas Junot panjang lebar.
Gadis itu hanya diam dan
tersenyum selama Junot
menjelaskan kopi Hitam
Favoritnya itu.
“Kopi hitam selalu
nikmat jika dinikmati
sambil ngobrol kayak gini
kan.” Kata gadis itu tibatiba
yang membuat Junot
menatap gadis yang sedang
tersenyum manis di
seberangnya. “Kopi hitam
memang pahit dan pekat,
namun jika diminum
sendiri tentunya tetap akan
pahit. Pahit yang kamu rasakan
mungkin bisa buat
kamu sejenak ngelupain
lelah dan semua pikiran
yang menumpuk di kepala
kamu hari ini. Kalau kopi
hitam dinikmati sambil
ngobrol pasti tetap pahit.
Tapi beban kamu akan hilang
bukan sejenak jika
kamu berbagi dengan mereka
yang juga menikmati
kopi untuk sejenak melupakan
masalah mereka hari
ini.” Lanjut gadis itu panjang
lebar, membuat Junot
tersenyum dan berpindah
ke meja gadis itu.
Sore itu, kopi hitam
teman sepi Junot mulai
dingin dengan larutnya
kedua orang tak saling
kenal itu berbicara membahas
banyak hal. Hingga
tak sadar waktu berjalan
dengan begitu cepat. Kopi
hitam kini tinggal ampasnya
saja. Suasana ramai
kini semakin sepi, namun
bagi Junot sepi saat ini tidak
sepahit kopi hitamnya.
Kini kopi hitamnya memiliki
rasa yang berbeda, rasa
dengan sensasi menagih
lebih candu dari sebelumnya.
(gas)
Penataan tulisannya kurang rapi nih :(
BalasHapusSekalian kasih link buat download versi pdf dong biar bisa buat arsip.
Tengkyuh