KESETARAAN GENDER DALAM MERAJUT SEJARAH NASIONAL


Kita semua pasti tidak asing mendengar kata gender,bukan? Gender sendiri berarti pembagian kerja antara pria dan wanita. Akhir-akhir ini isu tentang kesetaraan masih setia menjadi perbincangan hangat pada tingkat global. Tak luput juga dari Indonesia. Bicara tentang kesetaraan gender yang menuntut keadilan dalam pembagian kerja maka kita tak akan pernah lepas dari feminisme.

Feminisme sendiri meski pada titik ini bukanlah menjadi isu panas yang menggelitik kenyaman masyarakat Indonesia tetapi terus dan terus mengalami perkembangan yang spesifik. Semakin banyak wanita yang ‘melek’ akan feminisme ini. Maka dari itu, sekarang sudah tak asing lagi kiranya jika melihat aksi aksi yang menyuarakan feminisme seperti contohnya kegiatan woman march Sabtu, 4 Maret 2017 lalu yang berpusat di Museum Nasional yang dihadari oleh para aktivis dan semangat yang tinggi.

Lantas bagaimanakah kesetaraan gender dalam perannya merajut sejarah nasional?
Seperti yang kita ketahui bahwa sejarah bangsa Indonesia sangat amat bersifat patriarki. Yaitu condong memahlawankan kaum pria.Kita dapat menilik kembali bahwa kaum pria dapat memperoleh hak nya untuk melanjutkan pendidikannya sedangkan wanita sendiri termaginalkan dengan dogma  dapur-sumur-kasur. Meskipun para pejuang wanita di Indonesia layaknya Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika berperan penting terhadap awal emansipasi di Indonesia, nyatanya paradigma terus terhegomoni sehingga pandangan perempuan lemah masih terus bergelayut erat. Hal ini memberikan kesan seberapa kuat feminisme di Indonesia masih sangat amat sulit untuk menggeser budaya patriarki yang dipegang erat oleh masyarakat Indonesia. Sejarah seolah bersikap mengesampingkan pentingnya peran wanita dalam membangun sejarah nasional. Padahal sekarang ini di bidang politik membutuhkan setidaknya 30 % posisi perempuan dalam setiap partai politik.

Pada hakikatnya kesetaraan gender dalam merajut sejarah nasional adalah nol besar. Mengapa bisa dikatakan seperti itu? Karena sejarah kita tidak pernah memberikan ruang untuk seorang perempuan. Meski tidak benar-benar  dilupakan kehadirannya tetapi besar presentasinya untuk ditinggalkan oleh sejarah. Padahal kita tahu bahwa perjuangan tidak lagi melulu perihal perang dan penjajahan. Ada ruang dimana perjuangan adalah komunitas untuk dihargai kehadirannya,dilihat,dan diapresiasi. 

Sebagai seorang wanita. Sebagai analisis  sebuah film yang berjudul ‘Perempuan yang Tertuduh’ yang mengangkat cerita tentang kesaksian perempuan tragedi ’65 yang bertutur mengenai peristiwa dan kejadian yang belum terungkap sampai saat ini.Bagaimana mereka harus berjuang dalam menghadapi ekonomi juga sosial serta kesaksian-kesaksian mereka yang merupakan suatu perjalanan yang memberikan sumbangan sejarah sendiri. Di sana kita dapat melihat bagaimana sejarah memperlakukan peran wanita serta dapat kita lihat kaitannya mengenai  masyarakat saat ini? Pada film ini tidak mengangkat sikap tersebut merupakan kesalahan melainkan memberikan pandangan tentang sejarah yang tidak pernah melakukan kebenaran akan kasus tersebut. Mengapa? Apakah hal ini erat kaitannya akan kesetaraan gender yang timpang?

Apa yang terjadi pada tahun ’65 merupakan hasil dari skenario besar penguasa. Idealis yang sempurna bagi mereka namun bukan untuk masyarakat yang menikmatinya. Bisa kita lihat betapa maskulinnya sejarah kita ini meski menggambarkan para pahlawan wanita kita. Mengapa? Sekian pahlwan wanita Cuma ada 6 pahlawan yang bangkit dipermukaan walaupun begitu juga masih kalah maskulinnya dengan pahlawan kita yang lain. Penggambaran pahlawan wanita penuh dengan deskripsian dari sisi pria.

Tidak ada dari pahlawan wanita kita yang memakai seragam perangnya, mereka tanpa pedangnya, atau matanya yang haus akan sebuah kemenangan pada penggambarnya. Mereka masihlah dengan mata teduhnya, kepatuhannya, dan segalanya yang memaksa sejarah menuntut wanita tetap pada kodratnya. Padahal siapa yang mampu menjamin bahwa tangguhnya pahlawan wanita kita tidak ada bedanya dengan pahlawan pria yang lain?

Perihal ini masih terus seperti itu sampai hari ini. Walaupun dekontruksi terus dilakukan. Akhirnya pada titik ini wanita masih terus dibelakang pria dalam mencapai kesuksesannya. Lantas kehadiran wanita saat ini pada bidang politik apakah merupakan bentuk apresiasi atau hadiah dari kepahitan yang sejarah tanggalkan kepada wanita?

Tak ada yang tahu. Apapun itu kehadiran perempuan pada dunia poitik bukanlah bentuk kasihani.
Jika kita tarik lagi akan dampak dari sejarah yang bersifat patriarki ini dimana sukar rasanya memberikan kesetaraan yang ideal terhadap kesetaraan gender sampai hari ini.Paham sarinah lebih mampu fleksibel hadir di tengah masyarakat. Berbeda dengan paham feminisme yang menginginkan kesetaraan yang seadil-adilnya.Praktek sarinah ini dalam prakteknya selain menuntut kesetaraan,ia juga tidak melupakan nilai-nilai hakikatnya sebagai seorang wanita.

Namun kembali lagi apapun akan praktek dan paham yang diterapkan untuk membangun kesetaraan gender dalam merajut sejarah nasional sebisa mungkin tidaklah meluputkan peran dan hakikat pria dan wanita.


Kita dapat berharap dan berjuang ke depan bahwa sejarah bukanlah milik yang menang pada saat itu melainkan milik kita semua. Pria dan wanita yang berjuang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUNCHING PENGURUS HIMANTARA PERIODE 2019

Ethnography Metods : The Logic of Thingking

PROGRAM KB: EFEKTIFKAH?