Serba-serbi di Tengah Pandemi

Saya rasa kita telah sepakat bahwa sejak tersiarnya kabar virus korona pada awal tahun 2020 masyarakat mulai resah. Ada juga beberapa yang menjadikannya sebagai lelucon bahkan dijadikan sebagai challenge di sosial media. Kasus Corona pertama di Indonesia diumumkan oleh presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 dan hingga tulisan ini diketik ada 2.273 kasus Corona yang dirilis. Kebijakan-kebijakan dikeluarkan oleh instansi, ekonomi melambat bahkan mandeg, kekacauan di hampir seluruh lini, tagar #DiRumahAja, kecepatan internet semakin melambat, dan serba-serbi pandemi menarik dibicarakan dan memang setiap hari menjadi topik pembicaraan. 
Bagi saya yang tinggal di sebuah kabupaten kecil nun jauh dari kota besar, masyarakat masih belum bisa menerima ini semua. Alasan mengapa slametan tidak boleh mengundang banyak orang, mengapa warungnya sepi pembeli, anak-anak TK dan SD merengek ingin sekolah karena sudah bosan di rumah, paket internet habis karena dibuat ini dan itu. Pusat kota tidak berubah banyak, masih ramai orang berlalu-lalang menggunakan sepeda motor, swalayan masih ramai pengunjung dengan rak bagian hand sanitizer dan sabun yang kosong, UMKM konveksi tidak bisa setor sementara pegawainya tidak bisa membeli bahan makanan jika diliburkan. Serba-serbi pandemi di desa kecil ini diwarnai dengan kesibukan membuat jenang baneng (bubur sumsum), mengenakan gelang janur, mengamalkan doa ijazah dari guru spiritual masing-masing dan meletakkan Totok Gerot (beberapa menyebut Thethek Melek) di depan rumah. Masing-masing warga seolah berhak memilih ingin melakukan yang mana bahkan memilih untuk tidak melakukan itu semua. 
Jika melihat peta persebaran COVID-19, kabupaten ini masuk dalam kategori zona merah. Itu sebabnya–sama seperti banyak wilayah di dunia–beberapa desa menutup akses masuk setelah mendengar kabar tetangga desa yang positif Corona. Kabar tersiar dari mulut ke mulut, dari satu WhatssApp group ke WhatsApp group lainya. Tugas kita sebagai anak yang berbakti pada negeri– selain dengan karantina mandiri dan menjaga jarak aman–adalah meluruskan berita yang sudah terlanjur dibaca oleh bapak ibu (orang tua). Menjelaskan mana yang memang benar dan hoaks semata, mana yang sudah terbukti secara medis dan hanya rekaan oknum penjual agar dagangannya dibeli dengan harga berkali lipat. 
Terlalu dini untuk menyimpulkan apa yang terjadi di salah satu desa di kabupaten kecil tempat saya tinggal. Namun kenyataannya memang inilah yang terjadi. Tetap bekerja, belajar, beribadah di rumah, dan jaga jarak aman. Semoga Indonesia cepat pulih dan berhasil menghadapi pandemi. 

---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUNCHING PENGURUS HIMANTARA PERIODE 2019

Ethnography Metods : The Logic of Thingking

PROGRAM KB: EFEKTIFKAH?