Sensor di Indonesia. Masih Perlukah Adanya Sensor?

Tidak sedikit yang mengatakan bahwa sensor di Indonesia sangat lucu dan tidak masuk akal. Misalnya seperti yang sempat ramai dibicarakan beberapa waktu silam, yaitu aktivitas memerah susu sapi di salah satu program anak SCTV, bikini yang dikenkan tokoh Sandy dalam serial kartun Spongebob Squarepants Global TV, atau payudara pada patung di tayangan Titik Peradaban Trans7. Semua bentuk penyensoran tersebut bukannya membuat penonton menjadi teredukasi atau mendapat suatu nilai tertentu tetapi malah membuat penonton bergidik geli. Bahkan dalam salah satu artikel yang dimuat tirto.id menyebutkan bahwa dengan adanya sensor-sensor tersebut menunjukkan bahwa penikmat televisi merupakan subjek pasif yang tidak cerdas. Sama halnya seperti yang dikutip dalam magdalene bahwa penyensoran tidak lagi relevan dan membuat masyarakat tidak berdaya untuk memilah tontonan bagi anggota keluarganya terutama yang di bawah umur.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyebutkan bahwa sensor bukanlah kewenangan mereka melainkan kebijakan dari tim sensor masing-masing stasiun televisi. KPI hanya berperan sebagai regulator yang memberikan pedoman dan standar bagi perilaku perfilman juga penyiaran tersebut. Tapi terkadang dalam menginterpretasi dan mempraktikkan pedoman-pedoman tersebut dilakukan secara berbeda-beda antara satu stasiun televisi dengan stasiun televisi yang lain. Meskipun sebenarnya di dalam peraturan-peraturan tersebut sudah diberikan perincian yang sangat jelas mengenai bentuk-bentuk pelarangan apa saja yang dimaksud. Anggapan karena takut melanggar undang-undang dan peraturan-peraturan yang sudah diterbitkan KPI, membuat banyak stasiun televisi melakukan sensor secara sesuka hati. Contohnya seperti ada beberapa stasiun televisi yang menyensor darah di serial tayangannya, tetapi ada juga yang tidak. Dikutip dalam tirto.id Darwis mengatakan bahwa sensor tidak selalu sepenuhnya diperlukan dalam sebuah penayangan, asalkan adegan yang dimaksud masih sesuai dengan konteks. Misalnya saja stasiun televisi dapat menampilkan adegan berdarah asalkan hal tersebut sesuai dengan adegan. Namun sayangnya banyak masyarakat yang tidak mengetahui akan hal tersebut dan menyalahkan permasalahan sensor ini kepada KPI.

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, yang hingga saat ini masih menjadi pedoman berisi beberapa hal yang dilarang dalam perfilman, seperti :

1. Mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropia, dan zat adiktif lainnya;
2. Menonjolkan pornografi;
3. Memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
4. Menistaan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
5. Mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
6. Merendahkan harkat dan martabat manusia.


Nia Dinata yang menjadi seorang sutradara, penulis naskah, sekaligus produser yang terkenal dengan filmnya Ca Bau kan (2002) menyampaikan rasa kecewanya bahwa dengan adanya sensor yang terbilang berlebihan saat ini membuat para sutradara menjadi sangat terbatas dalam mengekspresikan ide-ide dan imajinasi mereka ke dalam film. Terkadang sensor juga membuat nilai yang ingin disampaikan kepada masyarakat menjadi tidak tersampaikan karena adegan yang sangat penting malah disensor. Sensor ini dapat berupa pengebluran atau pemotongan adegan. Dikutip dalam CNN Indonesia, sebenarnya Indonesia memiliki klasifikasi-klasifikasi usia dalam dunia perfilman dan penyiaran seperti yang ada di film-film Hollywood Amerika Serikat. Namun hal ini bukan menjadi satu-satunya penyaring dalam konten negatif yang disajikan oleh televisi di Indonesia. Para ahli film (sineas) juga berpendapat bahwa sebaiknya membiarkan film atau tanyangan televisi secara utuh apa adanya dan menyaring penontonnya dari kategori usia, ketimbang harus memotong adegan-adegan yang ada dan kehilangan feel dari film tersebut.

Maka demikian, bukan hanya masalah sensor yang seharusnya menjadi sorotan publik. Tetapi juga penonton yang harus lebih proaktif dalam menyeleksi konten-konten yang disediakan oleh televisi. Sudah sepatutnya penonton dapat memilah mana tayangan yang berkualitas bagi dirinya dan mana yang tidak, terutama bagi anak dibawah umur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAUNCHING PENGURUS HIMANTARA PERIODE 2019

Ethnography Metods : The Logic of Thingking

PROGRAM KB: EFEKTIFKAH?